Beda dengan Rokan dan Mahakam, divestasi Freeport tidak bisa gratis
Karena terdapat perbedaan antara pemerintah dan raksasa tambang Amerika Freeport McMoRan (FCX) dalam menafsirkan substansi kontrak.
Editor: Content Writer
Blok Rokan dan Blok Mahakam yang mengelola lapangan minyak dan gas terbesar di Indonesia kembali ke pangkuan ibu pertiwi setelah sekian lama dikelola asing. Blok Rokan dikelola Chevron, perusahaan asal AS, sementara Blok Mahakam dikelola Total, perusahaan asal Prancis.
Pertamina telah mengelola Mahakam sejak Januari 2018, dan akan mulai mengoperasikan Rokan di 2021.
Kedua blok tersebut dapat kembali ke Indonesia secara otomatis selepas habisnya kontrak untuk kemudian dikelola oleh Pertamina. Perusahaan asing yang bergerak di sektor minyak dan gas (migas) memang diharuskan untuk menjadi milik Indonesia setelah kontrak berakhir.
Dalam peralihan ini, pemerintah tidak mengeluarkan biaya apapun. Sebab aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah setelah sebelumnya membayar kontraktor lewat skema cost recovery senilai miliaran dolar AS per tahunnya.
Namun ketentuan yang sama tidak berlaku dalam proses divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) yang saat ini mengelola tambang dengan kekayaan emas terbesar di dunia. Kontrak PTFI tidak sama dengan yang berlaku di sektor migas.
PTFI dikendalikan oleh Freeport McMoran (FCX), perusahaan AS, beroperasi berdasarkan kontrak yang ditandatangani pada 31 Desember 1991. Kontrak tersebut seharusnya memang berakhir pada 2021. Namun, dalam hal ini terdapat perbedaan antara pemerintah dan raksasa tambang Amerika Freeport McMoRan (FCX), pemilik mayoritas PTFI, dalam menafsirkan substansi kontrak.
FCX menafsirkan, mereka berhak mendapatkan perpanjangan KK hingga 2041 dan pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara "tidak wajar".
Berdasarkan pengertian dari FCX, jika pemerintah tidak memperpanjang kontrak sampai tahun 2041, maka akan menjadi landasan dasar bagi FCX untuk membawa masalah tersebut ke pengadilan internasional. Peluang pemerintah untuk menang tidak terjamin.
Jika kalah, pemerintah tidak hanya diwajibkan membayar ganti rugi senilai miliaran dolar AS ke FCX, tapi juga seluruh aset pemerintah di luar negeri dapat disita.
Sekalipun menang, pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku berdasarkan laporan keuangan audited 2017, yang diestimasi lebih dari 6 miliar dolar AS. Selain itu, proses panjang arbitrase akan berdampak pada ketidakpastian operasi serta membahayakan kelangsungan tambang deposit emas terbesar di dunia tersebut.
Tak cuma itu pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya lebih dari Rp 2 triliun.
Justru dengan dilakukannya divestasi saham PTFI dengan membayar Rp 55 triliun, Inalum akan mendapatkan keuntungan yang berlipat. Dalam dengar pendapat dengan Komisi 7 DPR baru-baru ini, perusahaan tersebut akan mendapatkan kekayaan tambang yang terdiri dari emas, perunggu dan perak senilai lebih dari Rp 2,175 triliun.
Diperkirakan setelah tahun 2022, Holding Industri Pertambangan tersebut juga akan mendapatkan Iaba bersih dari operasional tambang PTFI yang mencapai Rp 58 triliun per tahunnya. (*)