Relaksasi DNI Harus Dikaji Ulang karena Berisiko Bagi Pertumbuhan Ekonomi
Jika 25 bidang usaha sepenuhnya dibuka kepada investor asing, pertumbuhan ekonomi akan semakin tidak inklusif, dan berisiko bagi pertumbuhan ekonomi.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah membuka peluang kepada perusahaan asing untuk sepenuhnya menguasai beberapa sektor usaha di Indonesia melalui kebijakan Relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI). Hal tersebut dinilai akan berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Peneliti Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, jika 25 bidang usaha sepenuhnya dibuka kepada investor asing, pertumbuhan ekonomi akan semakin tidak inklusif, dan berisiko bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.
"Hal ini akan membuat neraca pembayaran terus mengalami tekanan. Sebab jika ada profit, tentunya akan ditransfer ke negara asalnya," kata Bhima dalam keterangannya kepada Tribunnews.
Baca: Meradang Karena Aurat Dylan Sahara Dikomentari Nyinyir, Ifan Seventeen: Saya Akan Cari Anda!
Karena itu Bima berharap pemerintah mengkaji kembali kebijakan relaksasi DNI.
Sebagai gambaran kata Bhima, sebelumnya pemerintah telah membuka ruang untuk investasi asing yang cukup besar melalui Paket Kebijakan X tahun 2016.
Saat itu ada 101 bidang usaha yang diperluas bagi investor asing, tapi ternyata, sebanyak 51 dari 101 bidang usaha tersebut tidak diminati oleh investor.
Kebijakan ini kemudian menuai protes dari sejumlah pihak.
Baca: Video Nikahannya dengan Pria Bule Beredar, Aura Kasih Bagikan Momen Spesial Usai Ijab Kabul
Pemerintah kemudian meresponnya dengan menarik kembali 5 sektor UMKM untuk masuk kembali dalam DNI.
Sedangkan beberapa sektor usaha lainnya saat ini sedang dibicarakan dengan para pelaku usaha, dan diharapkan dapat dikeluarkan dari DNI.
Sementara itu pengamat ekonomi Yanuar Rizky menilai, Relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) yang dilakukan pemerintah tidak akan cukup efektif membuat defisit neraca perdagangan (current account deficit/CAD) membaik.
Tanpa adanya aturan untuk menahan aliran dana keluar atau repatriasi, kata Yanuar, defisit akan terus terjadi dan investasi yang masuk malah akan memberikan tekanan tambahan.
Menurut Yanuar, fenomema tingginya CAD telah berlangsung sejak dulu dan tidak bisa diantisipasi dengan hanya sekadar memasukkan investasi dengan merelaksasi DNI.
Yanuar menambahkan, negara Indonesia memiliki persoalan pada neraca dagang, yakni impor yang selalu lebih tinggi dari ekspor.
"Dahulu CAD bisa tertolong karena investasi portofolio yang masuk dan menutupi (defisit) nya," kata Yanuar di Jakarta.
Yanuar memberikan contoh pada Kantor Akuntan Publik (KAP) asing yang harus bermitra dengan partner lokal.
Mereka bisa dengan leluasa berpraktik di Indonesia dan menempatkan ekspatriatnya bekerja di Indonesia.
Hal yang sama juga bisa terjadi dengan sektor jasa lainnya.
"Bila ada asing yang mau masuk untuk bikin kantor di sektor jasa, misalnya mereka harus menyetor dana Rp 10 miliar, paling itu saja masuk untuk modal disetor. Tapi setelah itu mereka bebas membawa hasil keuntungannya keluar karena tidak ada yang mengatur," jelas Yanuar.
Saat ini pemerintah mencoba mengalihkan agar aliran investasi yang masuk diarahkan ke sektor riil.
Namun hal itu tidak akan menyelesaikan masalah karena soal repatriasinya tidak diatur.
Menurut Yanuar, permasalahan defisit juga terjadi karena neraca jasa kita yang negatif.
"Bila sektor jasa yang selama ini sudah berdampak negatif terhadap cadangan devisa dibuka 100 persen untuk asing, maka tekanan terhadap defisit akan bertambah," tegasnya.
,
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.