Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Tak Ada Polemik Data Pangan, Kementerian Pertanian Sudah ''On The Track''

Syukur menjelaskan, NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan.

Penulis: Malvyandie Haryadi
zoom-in Tak Ada Polemik Data Pangan, Kementerian Pertanian Sudah ''On The Track''
Ilustrasi Pertanian 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) menjawab pandangan pengamat Fiskal Universitas Pelita Harapan (UPH), Rony Bako, dan Direktur Centre For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, mengenai kinerja Kementan. Rony mempertanyakan penggunaan anggaran, dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan petani.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Sekretaris Jenderal (Sekjend) Kementan Syukur Iwantoro menyampaikan Nilai Tukar Petani (NTP) November 2018 sebesar 103,12. Atau naik 0,09 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP dikarenakan indeks harga yang diterima petani (lt) naik sebesar 0,26 persen. Sedangkan indeks harga yang dibayar petani (lb) turun sebesar 0,17 persen.

“Kenaikan NTP pada November 2018 disebabkan indeks harga hasil produksi pertanian mengalami kenaikan, sedangkan indeks harga barang dan jasa yang dibayar mengalami penurunan,” ujar Syukur mengutip pernyataan Kepala BPS Suhariyanto.

Baca: Sempat Ada Makan Minum Antara Jamintel, Billy Sindoro dan Bupati Bekasi

Syukur menjelaskan, NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan.

NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan daya beli petani.

“Angka-angka rilis terbaru BPS ini menunjukkan arah pembangunan sektor pertanian sudah on the track (berada di jalur yang benar -red). Secara sederhana, bisa dikatakan pembangunan pertanian selama pemerintahan Jokowi-JK berhasil meningkatkan kesejahteraan petani”, pungkas Syukur.

Produksi Jagung Surplus, Kenaikan Harga Anomali

Berita Rekomendasi

Sementara itu Uchok Sky Khadafi mendorong Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga Kejaksaan melakukan penyelidikan di Kementan. Ia mempertanyakan keputusan pemerintah mengimpor jagung saat Kementan menyebutkan produksi jagung surplus.

Menteri Pertanian Amran Suaiman menegaskan, Pemerintah mengambil sejumlah langkah strategis untuk menyelamatkan peternak ayam layer mandiri.

Anomali perkembangan harga jagung pakan telah membuat peternak mandiri terdesak. Salah satunya mengimpor jagung secara terbatas, sejumlah 100 ribu ton. Amran memastikan ini hanya untuk buffer stock (penyangga) dan pengontrol harga jagung di dalam negeri agar tidak terus melonjak.

Kalkulasi Amran, impor jagung maksimal sebanyak 100 ribu ton tersebut relatif sedikit dibandingkan volume ekspor jagung sebanyak 380 ribu ton.

"Dari rencana impor sebesar 100 ribu ton, saat ini sudah tersedia 73 ribu ton. 13 ribu di antaranya berada di Gudang Bulog Cigading. Sedangkan 60 ribu lainnya berada di Gudang Maspion Surabaya," kata Sekretaris Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah, Rabu (19/12/2018).

Nasrullah menjelaskan, jagung impor ini dijual Rp 4.000 per kilogram dalam bentuk curah. Untuk akses pembelian, peternak rakyat atau mandiri bisa mengambil melalui divisi regional masing-masing.

Sekretaris Jenderal (Sekjend) Kementerian Pertanian (Kementan), Syukur Iwantoro pernah menyampaikan, dalam konteks penyediaan bahan kebutuhan pokok (dalam hal ini pangan), ekspor – impor adalah hal biasa.

Terlebih Indonesia tergabung dalam Wolrd Trade Organization (WTO) atau organisasi perdagangan dunia.

“Indonesia sebagai bagian dari warga global, akan terus konsisten mengikuti aturan yang berlaku di tingkat global, seperti WTO. Namun usaha dan upaya kita untuk kemandirian dan kedaulatan pangan, tidak boleh berhenti”, pungkas Syukur.

Dekan Fakultas Pertanian Institut Ilmu Pertanian Bogor (IPB), Suwardi, menguatkan pendapat ini, bahwa untuk tujuan tertentu terkadang impor diperlukan.

“Dari segi jumlah produksi untuk memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri, produksi kita mungkin saja sudah mencukupi. Tetapi jumlah saja tidak cukup karena masih ada faktor lain”, ujar Suwardi.

Peternak Puji Langkah Strategis Kementan

Saat menunggu jagung impor tiba, Pemerintah berinisiatif mengusahakan jagung pakan bagi peternak ayam layer (petelur) mandiri.

“Terus terang saya memuji usaha Kementan, khususnya ke Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Pak Dirjen Pak Ketut dan jajarannya. Betul-betul luar biasa untuk peternak dalam mengadakan jagung”, kata Awan Sastrawijaya, Peternak Ayam Petelur di Bandung, Jawa Barat.

Ketua Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia Prof. DR. Ir. Ali Agus DAA. DEA menegaskan kebijakan Pemerintah mencari pinjaman jagung pakan untuk membantu peternak ayam layer (petelur) mandiri, adalah sesuatu yang sangat wajar. Juga tidak akan menganggu iklim investasi seperti yang dikhawatirkan sebagian kalangan.

Menurutnya kebijakan ini justru perlu dilakukan sebagai langkah manajemen operasi dan stok dari sebuah industri.

"Misalnya begini, ayam belum makan, makannya jagung. Jagungnya kalau ada digunakan kalau tidak ya pinjam dari tetangga. Itu kan namanya manajemen stok. Saya kira iklim investasi akan tetap sehat karena langkah ini jangka pendek. Kalau perlu kita apresiasi," ujar Ali beberapa waktu lalu.

Kebijakan pinjam, kata Agus yang meraih gelar Doktor di EXSA Rennes - Perancis tahun 1996, merupakan hal biasa yang dilakukan di negara penghasil ternak seperti China dan Vietnam. Di sana, ketika panen raya berlangsung dan hasilnya melimpah ruah, maka keputusan yang diambil adalah ekspor.

"Sebaliknya kalau hasil panen rayanya kurang mereka beli alias impor, atau pinjam. Kan sebenarnya ini hukum perdagangan internasional yang logis. Jadi saya kira tidak perlu alergi lah sama pinjam atau impor", katanya.

Sebagaimana disampaikan Ketua Presidium Forum Peternak Layer Nasional Ki Musbar Mesdi, apabila tidak segera diantisipasi, kenaikan harga jagung bisa berdampak pada harga telur di pasaran.

“Sebab, biaya jagung berkontribusi 50 persen dari total biaya produksi pakan”, kata Ki Musbar. (*)

Tulisan ini memuat hak jawab dari Kementerian Pertanian atas berita Besarnya Anggaran Kementan Dinilai Pengamat Belum Berbanding dengan Kinerja

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas