Sudirman Said Sebut Publik Perlu Tahu Isi Perjanjian Pembelian Freeport
Sudirman Said menyatakan publik perlu mengetahui isi perjanjian pembelian saham PT Freeport Indonesia (FI) oleh Inalum
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said menyatakan publik perlu mengetahui isi perjanjian pembelian saham PT Freeport Indonesia (FI) oleh Inalum.
Pasalnya, meskipun sudah menjadi pemegang saham mayoritas, bagian terbesar dari keuntungan perusahaan tambang emas itu sampai tahun 2022 masih menjadi milik Freeport MacMoran Inc (FCX).
Baca: Sudirman Said Ungkap Pertemuan Rahasia Jokowi dan Bos Besar Freeport, James Moffet
Dalam penjelasannya kepada otoritas bursa AS, FCX menyampaikan meskipun kempemilikan sahamnya di FI tinggal 48,76 persen, namun sampai tahun 2022 81,28 persen dari keuntungan FI menjadi milik FCX.
“Dalam penjelasan (disclosure) itu McMoran juga menyatakan, masih masih akan mengontrol manajemen operasi FI,” jelas Sudirman Said dalam Publik dan Bedah Buku bertema Mengelola Sumber Daya Alam, Menjaga Harkat Negeri, Rabu (20/02/2019) di Jakarta.
Sudirman menyampaikan, kepemilikan saham FCX di FI turun menjadi 48,76 persen. Semestinya sebagai pemegang saham mayoritas, pemerintah Indonesia, dalam hal ini Inalum mendapat bagian keuntungan yang lebih besar, sesuai kepemilikan saham.
“Publik, terutama media perlu mempertanyakan hal ini. Karena Inalum sudah mengeluarkan dana besar untuk menguasai 51,24 persen saham Freeport Indonesia. Mengapa porsi keuntungan terbesar masih menjadi bagian McMoran, begitu juga dengan kendali operasi perusahaan,” lanjut Sudirman dalam dikusi yang juga dihadiri mantan Dirjen Minerba Simon Felix Sembiring, dan mantan Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu.
Sementara itu Said Didu mengungkapkan, dengan penguasaan 51,24 persen saham FI oleh pihak Indonesia, FCX mendapat lima keuntungan sekaligus.
Yakni, mendapat dana AS$ 3,8 miliar atau setara dengan Rp 54 triliun, perpanjangan kontrak hingga 2041, terbebas dari keharusan memperbaiki kerusakan lingkungan yang dikalkulasi mencapai Rp 180 triliun, serta tidak menanggung seluruh investasi beban pembangunan smelter.
Sementara pihak Inalum masih harus menggelontorkan lagi dana investasi untuk eksplorasi dan pembangunan smelter, yang jumlahnya juga tidak kecil.
Baca: Sudirman Said Sebut Rakyat Sudah Bosan dengan Kepura-puraan dan Pencitraan
“Karena pemerintah tidak punya uang, kemungkinan kewajiban investasi itu akan ditutup lagi dengan utang baru,” tutur Said Didu.
Yang juga kurang menguntungkan pihak Indonesia, hingga tahun 2021 Inalum belum akan menikmati deviden FI. Pasalnya, ada pergseran eksplorasi dari tambang terbuka (open pit) ke tambang tertutup bawah tanah (underground). Pergeseran ini akan menyebabkan pendapatan operasi FI menurun, sehingga pemegang saham tidak mendapat deviden, termasuk Inalum.