Sudirman Said Ungkap Pertemuan Jokowi dan Bos Besar Freeport, James Moffet
Sudirman mengatakan, sebelum masuk ke ruang kerja presiden, ia dibisiki oleh ajudan presiden untuk menganggap bahwa pertemuan tersebut tidak ada.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengungkapkan adanya pertemuan antara Jokowi dengan Presiden Freeport McMoran Inc, James R. Moffet di Indonesia.
Pertemuan rahasia tersebut menurut Sudirman Said, menjadi cikal bakal keluarnya surat tertanggal 7 Oktober 2015 dengan nomor 7522/13/MEM/2015 yang berisi perpanjangan kegiatan operasi freeport di Indonesia.
Selama ini, ia sering dituding sebagai orang yang memperpanjang izin tersebut.
"Mengenai surat, tanggal 7 Oktober 2015, jadi surat itu menjadi penguatan publik, saya seolah olah memberi perpanjangan izin, itu persepsi publik," kata Sudirman Said di acara diskusi peluncuran buku 'Satu Dekade Nasionalisme Pertambangan', di Kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu, (20//2/2019).
Sudirman yang kini menjadi Tim sukses Prabowo tersebut kemudian menceritakan kronologis pertemuan antara Jokowi dan Bos Besar Freeport itu.
Sehari sebelum diterbitkannya surat perpanjangan yakni pada 6 Oktober 2015, ia ditelpon ajudan presiden untuk datang ke istana.
Namun dalam sambungan telepon tersebut ia tidak diberitahu tujuan Jokowi memanggilnya itu.
Baca: Bantah Tudingan Sudirman Said Soal Freeport, Jonan: Perundingan Menteri Sebelumnya Tidak Relevan
Baca: Sudirman Said Singgung Pertemuan Rahasia Jokowi dan Bos Freeport, Ini Kata Luhut
Baca: Livery Decal Branding Xpander Kini Nempel di Badan Pesawat Boeing 737-800 NG Garuda
"Kira-kira jam 8.30 Wib, saya datang dari rumah, duduk sekitar 5, 10 menit, langsung masuk ke ruang kerja pak presiden," katanya.
Namun, lanjut Sudirman Said, sebelum masuk ke ruang kerja presiden, ia dibisiki oleh ajudan presiden untuk menganggap bahwa pertemuan tersebut tidak ada.
"Sebelum masuk ke ruang kerja, saya dibisiki oleh Aspri, 'pak menteri pertemuan ini tidak ada'. Saya ungkap ini karena ini hak publik untuk mengetahui di balik keputusan ini. Jadi bahkan Setneg tidak tahu, Setkab tidak tahu," katanya.
Sudirman mengaku kaget begitu masuk ke ruang kerja presiden, sudah ada James Moffet.
Dalam pertemuan tersebut tidak ada pembicaraan panjang lebar.
Baca: Jawaban Jokowi atas Tudingan Sudirman Said Soal Pertemuan Diam-diam dengan Bos Freeport
Baca: Toyota, Suzuki dan Mitsubishi Mendominasi Pemberitaan Sepanjang 2018
Sudirman mengatakan, Jokowi hanya memerintahkan membuat surat atau dokumen perpanjangan kontrak freeport di Indonesia.
"Dan tidak panjang lebar, presiden hanya katakan, tolong siapkan surat, seperti yang dibutuhkan. Kira-kira, kita ini ingin menjaga kelangsungan investasi lah. Nanti dibicarakan setelah pertemuan ini. Saya jawab 'baik pak pres', maka keluarlah saya bersama James Mofet ke suatu tempat. Freeport Indonesia juga tidak tahu Mofet itu ke Indonesia," katanya.
Sudirman mengaku Jim Mofet kemudian menyodorkan draft perpanjangan kerjasama kepadanya. Setelah membacanya ia kemudian mengatakan kepada Moffet bahwa draft tersebut tidak sesuai.
"Kalau saya ikuti draftmu, maka akan ada preseden negara didikte korporasi. Saya tidak lakukan itu. You tell me what have been discussed with president, dan saya akan buat draft yang lindungi kepentingan republik," katanya.
Sekitar jam 3 sore ia kemudian balik lagi ke kantor ESDM. Sudirman mengaku langsung mengumpulkan sekjen, biro hukum, dan bidang terkait untuk membuat draft surat perpanjangan kontrak.
Setelah rapat, draft yang dibuatnya kemudian dinyatakan clear.
"Namun saat itu belum saya tandatangani," kata Sudirman Said.
Sudirman menambahkan, mengatakan draft tersebut kemudian ia serahkan kepada presiden, "Bapak ibu mau tahu apa yang dikatakan presiden.
Begini saja sudah mau, kalau mau lebih kuat, yang diberi saja (Mofet) ,” katanya.
Karena itu menurut Sudirman surat perpanjang kontrak Freeport di Indonesia itu bukan atas inisiatifnya melainkan atas inisiatif presiden.
"Saya katakan surat itu perkuat posisi mereka, lemahkan posisi kita. Jadi kalau saya disalahkan karena posisi negara semakin lemah, maka salahkanlah yang menyuruh surat itu," ungkap Sudirman Said.
Jokowi Bantah
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjawab tudingan yang dilontarkan mantan Menteri ESDM Sudirman Said.
Menurut Jokowi, pertemuan dengan bos Freeport tersebut tidak dilakukan secara diam-diam seperti yang dikatakan Sudirman, bahkan pertemuan ini dilakukan berkali-kali dengan tujuan menjadi pemegang saham mayoritas Freeport.
"Enggak sekali dua kali ketemu, diam-diam bagaimana? Pertemuan bolak-balik," ujar Jokowi di Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (20/2/2019) malam.
Baca: Jawaban Jokowi atas Tudingan Sudirman Said Soal Pertemuan Diam-diam dengan Bos Freeport
Jokowi mengakui dalam pertemuan tersebut memang pihak Freeport meminta perpanjangan kegiatan operasi, tetapi saat itu ditegaskan bahwa pemerintah akan mengambil saham Freeport menjadi mayoritas.
"Ya perpanjangan, dia minta perpanjangan tapi sejak awal saya sampaikan, bahwa kita miliki keinginan itu (menguasai 51 persen saham Freeport)," ujar Jokowi.
Capres nomor urut 01 itu pun menilai pertemuan Presiden dengan pengusaha termasuk bos Freeport adalah hal yang biasa dan tidak dilarang.
"Ketemu dengan pengusaha ya biasa saja, ketemu konglomerat biasa saja, ketemu yang sekarang (bos Freeport) biasa saja, ngapain saya," papar Jokowi.
Perjanjian Freeport
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said menyatakan publik perlu mengetahui isi perjanjian pembelian saham PT Freeport Indonesia (FI) oleh Inalum.
Alasannya, meskipun sudah menjadi pemegang saham mayoritas, bagian terbesar dari keuntungan perusahaan tambang emas itu sampai tahun 2022 masih menjadi milik Freeport MacMoran Inc (FCX).
Dalam penjelasannya kepada otoritas bursa AS, FCX menyampaikan meskipun kempemilikan sahamnya di FI tinggal 48,76 persen, namun sampai tahun 2022 81,28 persen dari keuntungan FI menjadi milik FCX.
“Dalam penjelasan (disclosure) itu McMoran juga menyatakan, masih masih akan mengontrol manajemen operasi FI,” jelas Sudirman dalam Publik dan Bedah Buku bertema Mengelola Sumber Daya Alam, Menjaga Harkat Negeri, Rabu (20/02/2019) di Jakarta,
Sudirman menyampaikan, kepemilikan saham FCX di FI turun menjadi 48,76 persen.
Semestinya sebagai pemegang saham mayoritas, pemerintah Indonesia, dalam hal ini Inalum mendapat bagian keuntungan yang lebih besar, sesuai kepemilikan saham.
“Publik, terutama media perlu mempertanyakan hal ini. Karena Inalum sudah mengeluarkan dana besar untuk menguasai 51,24 persen saham Freeport Indonesia. Mengapa porsi keuntungan terbesar masih menjadi bagian McMoran, begitu juga dengan kendali operasi perusahaan,” lanjut Sudirman dalam dikusi yang juga dihadiri mantan Dirjen Minerba Simon Felix Sembiring, dan mantan Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu.
Sementara itu Said Didu mengungkapkan, dengan penguasaan 51,24 persen saham FI oleh pihak Indonesia, FCX mendapat lima keuntungan sekaligus.
Yakni, mendapat dana AS$ 3,8 miliar atau setara dengan Rp 54 triliun, perpanjangan kontrak hingga 2041, terbebas dari keharusan memperbaiki kerusakan lingkungan yang dikalkulasi mencapai Rp 180 triliun, serta tidak menanggung seluruh investasi beban pembangunan smelter.
Sementara pihak Inalum masih harus menggelontorkan lagi dana investasi untuk eksplorasi dan pembangunan smelter, yang jumlahnya juga tidak kecil.
“Karena pemerintah tidak punya uang, kemungkinan kewajiban investasi itu akan ditutup lagi dengan utang baru,” tutur Said Didu.
Yang juga kurang menguntungkan pihak Indonesia, hingga tahun 2021 Inalum belum akan menikmati deviden FI.
Pasalnya, ada pergeseran eksplorasi dari tambang terbuka (open pit) ke tambang tertutup bawah tanah (underground).
Pergeseran ini akan menyebabkan pendapatan operasi FI menurun, sehingga pemegang saham tidak mendapat deviden, termasuk Inalum.
Rp 55 Triliun
Inalum merogoh kantong Rp 55 triliun untuk membeli tambang PTFI dengan kekayaan senilai Rp 2,400 triliun hingga 2041. Setelah 2022, laba bersih PTFI diproyeksikan sebesar Rp 29 triliun per tahun berdasarkan asumsi yang konservatif.
Inalum meningkatkan kepemilikan perusahaan di PT Freeport Indonesia (PTFI) dari 9.36% menjadi 51.2% pada Desember tahun lalu melalui pembiayaan dari institusi finansial ternama dunia.
Dalam dokumen yang diterbitkan Inalum, BNP Paribas dari Perancis, Citigroup dari Amerika Serikat dan MUFG dari Jepang disebutkan menjadi koordinator underwriter dalam penerbitan obligasi global Inalum pada November tahun lalu.
CIMB dan Maybank dari Malaysia, SMBC Nikko dari Jepang dan Standard Chartered Bank dari Inggris sebagai mitra underwriter.
Dalam dokumen tersebut juga dijelaskan jika tidak ada asset atau saham Inalum dan anak usaha, termasuk PTFI, yang digadaikan ketika perusahaan menerbitkan obligasi global senilai US$4 miliar dimana US$3.85 miliar atau Rp55 triliun digunakan untuk pembayaran saham PTFI dan sisa US$150 juta untuk refinancing.
"Saya rasa Freeport pun dulu tidak percaya bahwa kita bakal dapat pendanaannya. Sekarang seluruh dunia percaya kita, terus kenapa orang kita nggak percaya. Dan jangan takut bahwa ini nggak bisa bayar. Lho yang nggak bisa bayar siapa. Seluruh dunia percaya kita bisa bayar, kenapa kita minder," kata Direktur Keuangan PT Inalum Orias Petrus Moedak dalam sebuah diskusi di bulan Desember 2018.
Orias saat ini menjabat sebagai wakil direktur utama PTFI.
Obligasi Inalum terdiri dari dari empat seri dengan dengan masa tersingkat 3 tahun dan paling lama 30 tahun dengan tingkat kupon rata-rata sebesar 5.991%. Menurut dokumen Inalum, tidak ada asset.