Komisi XI DPR Agendakan RDP Bersama OJK Akhir Bulan Ini
Anggota Komisi XI DPR RI, Haerul Saleh menjelaskan, RDP guna memperoleh penjelasan terkait temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi XI berencana menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhir bulan ini.
Anggota Komisi XI DPR RI, Haerul Saleh menjelaskan, RDP guna memperoleh penjelasan terkait temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Akhir bulan, kami ada rapat dengar pendapat dengan mereka (OJK)," tuturnya kepada wartawan di Jakarta, Jumat, (14/6/2019).
Kata Haerul Saleh, hal tersebut sudah pernah dibahas oleh Komisi XI dalam rapat beberapa waktu lalu. Ketika itu, OJK melempar tanggung jawab pada manajemen yang lama.
"Waktu itu pihak OJK menjawab bahwa hal tersebut merupakan kesalahan kebijakan lama. Tapi menurut saya, masalah tersebut tidak bisa dilimpahkan begitu saja," katanya.
Haerul Saleh menggariskan itu merupakan keputusan kelembagaan yang harus dilaksanakan oleh lembaga. Apabila tidak digunakan atau dimanfaatkan sebagaimana mestinya itu berarti ada inifesiensi yang secara sengaja dilakukan.
Oleh karena itu, ia mengaku masih akan menuntut OJK untuk menjelaskan secara komprehensif.
"Nanti setelah itu, baru kita lihat rekomendasi BPK sepeti apa. Apakah memang masih ada jalan perbaikan dengan melakukan pengembalian atau ada unsur hukum lain. Yang pasti harus ada yang bertanggungjawab," katanya.
Dilansir Kontan, berdasar Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2018 BPK yang terbit akhir Mei lalu, ada delapan catatan BPK atas dana pungutan dari industri keuangan itu.
Pertama, tidak ada dasar penghitungan perencanaan pungutan OJK sejak 2016 - 2018. BPK menilai rencana kerja dan anggaran (RKA) tahun tersebut tak memiliki dasar perhitungan jelas dan akurat atas lembaga keuangan yang diawasinya.
Padahal, pungutan ini sumber anggaran OJK sejak 2016.
Kedua, perencanaan kegiatan dan penggunaan dana tidak memadai karena ada tiga departemen melakukan revisi kegiatan penggunaan dana yang nilainya cukup signifikan.
Ketiga, BPK menilai OJK boros dalam penyewaan gedung Wisma Mulia 1 dan 2. Pasalnya, dari dua gedung yang disewa hanya sebagian gedung Wisma Mulia 2 yang dipakai. Akibatnya pengeluaran uang sewa tidak manfaat.
Keempat, data sumber dan perhitungan anggaran remunerasi tidak jelas dan melebihi kebutuhan OJK.
Kelima, roadmap pemenuhan gedung kantor, keputusan sewa dengan opsi beli Wisma Mulia 1 dan sewa Wisma Mulia 2, serta penyediaan gedung kantor daerah tidak didukung dengan perhitungan kebutuhan luasan gedung kantor yang jelas dan kemampuan dana.
Keenam, ada perbedaan pagu anggaran per bidang antara anggaran dalam Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) dengan persetujuan DPR.
Ketujuh, BPK menemukan kekurangan penerimaan negara atas ketidaktaatan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Badan oleh OJK.
Kedelapan, pembelian tanah di Papua, Solo, dan Yogyakarta, belum dimanfaatkan untuk menunjang operasional OJK.
Menanggapi hasil audit BPK ini, Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot memastikan instansinya telah melakukan perbaikan dalam pengajuan anggaran ke DPR.
Pengajuan anggaran OJK tahun 2019 juga telah disesuaikan dengan rekomendasi dan kebutuhan. "Anggaran yang diajukan berdasarkan data pendukung valid dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai kebutuhan," jelas Sekar.
Atas sejumlah aset OJK yang tanah di Papua, Solo, dan Yogyakarta, Sekar menyatakan, pembangunan kantor OJK di Yogyakarta, Solo, dan Papua akan dimulai Juni 2019 ini. Pembangunan diharapkan selesai 2019–2020.
OJK juga tengah menyusun ulang peta jalan pemenuhan gedung. Pada 2 April lalu, ada nota kesepahaman dengan Kementerian Keuangan (Kemkeu) untuk dibangun Indonesia Financial Center sebagai kantor pusat OJK. Harapannya, Juni ini, pembangunan dimulai. (Kontan/*)