Memberdayakan Ibu Rumah Tangga dengan Usaha Tiram
Bermula dari lima model tambak, setelah 3-4 bulan panen, ternyata hasilnya memuaskan, tiram yang dihasilkan pun berukuran besar dan segar
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM - Citi Indonesia (Citibank) mengumumkan pemenang wirausaha mikro dalam berbagai bidang usaha melalui Citi Microentrepreneurship Awards (CMA) 2018-2019, penyerahan penghargaan diberikan oleh Batara Sianturi selaku CEO Citi Indonesia (Citibank).
Satu di antara pemenangnya adalah Zainal Abidin Suarja (34) asal Banda Aceh, yang mendapatkan penghargaan di kategori Agriculture and Fishery Microentrepreneur dalam usahanya budidaya tiram bernama ‘Natural Food’.
Pada awal pendirian usaha tiram ini, Zainal mengaku tidak bertujuan untuk memperoleh profit.
Ia melihat, ibu-ibu pencari tiram tradisional di Aceh menghabiskan waktu hingga 8 jam untuk mencari tiram.
Padahal ibu-ibu sebagai ibu rumah tangga memiliki kewajiban untuk mengurus anak, suami, dan rumahnya sedangkan mereka menghabiskan waktu setengah hari di sungai atau laut.
Upah yang dihasilkan selama 8 jam bekerja itu hanya berkisar 20 – 30 ribu.
“Jadi kami berinisiatif membantu ibu-ibu awalnya membuat sebuah peternakan tiram, budidaya tiram dengan cara yang lebih modern lah, lebih gampang, lebih mudah jadi akhirnya kita beberapa kali mencoba akhirnya kita dapat tempat yang bagus untuk budidaya tiramnya, kita ajak ibu-ibu untuk gabung, mereka setuju dan kita mulai instal beberapa tambak,” ungkapnya belum lama ini.
Bermula dari lima model tambak, setelah 3-4 bulan panen, ternyata hasilnya memuaskan.
Tiram yang dihasilkan pun berukuran besar dan segar.
Karena merasa mudah untuk memanen, akhirnya banyak ibu-ibu yang bergabung, sekitar 67 orang dan Zainal pun menambah menjadi 40 tambak.
Ibu-ibu yang sebelumnya menghabiskan waktu 8 jam di sungai atau di lau mencari tiram secara tradisional, sekarang berubah menjadi budidaya.
“Nah, awalnya kami menjual tiram ibu-ibu ini yang sudah diternak kami jual di pasar namun ternyata tiram ini kan seafood, jadi seafood ini rentan terhadap suhu, jadi kami siapin freezer, jadi kami berinisiatif kami tidak bisa terus jual tiram segar, akhirnya membuat variasi menjadi nugget, kerupuk. Ternyata pasar menerima. Jadi akhirnya, tambak kami itu menghasilkan tiram segar, dua tiga hari gak laku kami olah menjadi kerupuk dan nugget. Akhirnya sekarang menjadi usaha kita,” jelasnya.
Dalam menjalankan usahanya, ternyata Zainal mengalami sejumlah kendala.
Kendala itu seperti mengubah pola pikir ibu-ibu yang biasa mencari tiram secara tradisional dengan mengajak mereka melakukan budidaya tiram secara modern serta sulitnya membeli peralatan budidaya seiring bertambahnya jumlah ibu-ibu yang ikut bergabung.
“Memang tidak mudah mendirikan usaha, jadi ibu-ibu ini kan semua penyintas tsunami jadi mereka selamat dari tsunami dan akhirnya harus kembali ke Desa Alue Naga ini, jadi rata-rata itu tamat SD bahkan ada yang tidak bisa menulis dan membaca jadi ketika kami ajarkan (budidaya tiram) mereka tidak terima karena merasa dari lahir sudah tahu mencari tiram, jadi kita harus coba kasih model, ketika berhasil, ibu-ibu baru percaya tiram itu bisa diternak,” katanya.
Setelah mendapatkan kepercayaan dari ibu-ibu, Zainal mengatakan, kesulitan tidak selesai sampai di sini.
Selera pasar yang berbeda dengan hasil tiram budidayanya pun menjadi satu kendala tersendiri.
Pasalnya, pasar sudah terbiasa dengan ukuran tiram yang kecil, sedangkan tiram hasil budidayanya berukuran besar dan segar. Zainal pun bersama memutar otak untuk mencari inovasi-inovasi baru.
“Akhirnya kita muncul ide-ide kita jual yang tiram beku, kita jual dalam bentuk olahan baru, jadi akhirnya mengembangkan variasi produk kita dan nugget tiram kita menjadi satu-satunya dan kerupuk kita menjadi terbaik, bisa dibilang oleh-oleh baru lah dari Aceh,” tuturnya.
Usaha tiram Zainal pun semakin berkembang dan menghasilkan omset rata-rata mencapai 20-25 juta per bulan.
Tak ingin berpuas diri, Zainal ingin mengembangkan usahanya yang tentu saja membutuhkan modal usaha yang semakin besar.
Ia mengaku mencari modal serta pendampingan usaha dengan berbagai cara, salah satunya adalah mendaftarkan diri untuk menjadi peserta CMA untuk periode 2018-2019.
Kegigihannya membuahkan hasil dengan berhasil menjadi salah satu pemenang dalam kategori Agriculture and Fishery Microentrepreneur.
“Melihat ibu-ibu yang sudah semangat dalam usaha ini, mendorong kami membeli berbagai mesin padahal biayanya mahal, sampai akhirnya kami coba ikut CMA dan akhirnya dapat memenangkan kompetisi ini. Hasil dari kompetisi ini, kami belikan peralatan produksi dan Alhamdulillah produksi kami juga semakin lebih baik,” katanya.