Sri Mulyani 'Warning' soal Potensi Gagal Bayar, Apa Kaitannya dengan Krisis Ekonomi?
Selain itu, menilik tidak adanya ruang fiskal yang tersedia bagi pemerintah untuk melakukan hal tersebut.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan ( Menkeu) Sri Mulyani meminta perusahaan-perusahaan Indonesia untuk waspada karena adanya laporan dari lembaga pemeringkat Moody's yang menyebut perusahaan Indonesia punya potensi besar gagal bayar (default) pada Selasa (1/10/2019).
Menurutnya, penyampaian tersebut merupakan suatu assesment dan peringatan baik.
Lalu apa itu gagal bayar?
Menanggapi hal itu, peneliti Institute dor Development of Economics and Finance ( Indef) Nailul Huda menyampaikan bahwa istilah gagal bayar adalah suatu kondisi perusahaan tidak bisa bayar utang.
" Gagal bayar yang diartikan di sini ialah perusahaan tidak bisa membayar utang karena kemampuan membayar utangnya jauh lebih kecil daripada utangnya," ujar Nailul saat dihubungi Kompas.com, Rabu (2/10/2019).
Baca: Sri Mulyani Warning Perusahaan-perusahaan Indonesia Waspada, Ada Apa Sebenarnya?
Baca: Sri Mulyani Beberkan Cara RI Selamat dari Krisis Ekonomi
Menurutnya, kondisi ekonomi yang seret membuat ekspor perusahaan-perusahaan di Indonesia ikut mengalami kemacetan (seret).
"Maka dari itu, kemampuan membayar utangnya jadi turun," kata dia.
Di sisi lain, pengamat ekonomi Nawir Messi menjelaskan bahwa sangat berbahaya apabila informasi dari lembaga pemeringkat Moody's mengatakan banyak perusahaan di Indonesia yang berpotensi gagal bayar (default).
Ia mengungkapkan, adanya potensi gagal bayar ini tidak masalah jika persoalannya ada di bagian pengelolaan atau manajemen.
"Karena persoalan pengelolaan enggak masalah, tapi kalau persoalan pasar yang tidak kondusif, yang membuat kinerja keuangan menurun, efeknya bisa ke mana-mana," ujar Nawir saat dihubungi terpisah oleh Kompas.com pada Rabu (2/10/2019).
Ancaman Krisis
Adapun jika terjadi fenomena gagal bayar, maka akan timbul 2 respons, yakni reschedule atau default.
Menurutnya, apabila hal tersebut benar-benar terjadi, maka muncul dampak luarnya di mana rating investasi juga akan mengalami penurunan.
"Padahal beberapa waktu lalu itu kan sudah naik, menjadi pro-investment," ujar Nawir.
Kemudian, kondisi yang akan terjadi selanjutnya, yakni jika investasi menurun, dilanjur dengan rating yang menurun, dipastikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga terpengaruh.
Akibatnya, dampak yang timbul bisa menjalar ke mana-mana.
Nawir menyampaikan bahwa secara keseluruhan, jika Indonesia betul mengalami gagal bayar (default), maka bisa dikatakan keseriusan itu terjadi saat perekonomoan dunia di ambang krisis.
Kemudian, hal yang dikhawatirkan adalah kalau gagal bayar tersebut dialami oleh BUMN.
"Jika sudah begitu, akankah Indonesia mengalami peristiwa seperti tahun 1997-1998? di mana pemerintah melakukan pengambil-alihan atau melakukan penyuntikan dana, dan hal itu menjadi sangat tidak bagus ketika perekonomian nasional juga mengalami kondisi tidak terlalu bagus," kata dia.
Selain itu, menilik tidak adanya ruang fiskal yang tersedia bagi pemerintah untuk melakukan hal tersebut.
"Jadi menurut saya, mudah-mudahan tidak terjadi perusahaan-perusahaan BUMN yang gagal bayar (default)," ujar Nawir.