Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

DPR Minta Sawit Masuk dalam Perjanjian IEU-CEPA

sawit merupakan komoditas strategis dan penopang perekonomian nasional. Komoditas ini terbukti menyumbangkan devisa negara hingga ratusan triliun

Editor: Hasiolan Eko P Gultom
zoom-in DPR Minta Sawit Masuk dalam Perjanjian IEU-CEPA
KONTAN/FRANSISKUS SIMBOLON
ILUSTRASI. Hamparan perkebunan kelapa sawit terlihat dari ketinggian di Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, Jumat (11/10). 


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi IV DPR RI meminta pemerintah memasukkan kelapa sawit dalam perundingan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa (Indonesia European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IEU-CEPA). Jika tidak ada pembahasan sawit, maka tidak perlu ada IEU-CEPA.

“Sawit merupakan berkah bagi bangsa Indonesia. Maka dari itu, pemerintah harus memperjuangkan kelapa sawit dalam semua pembahasan perdagangan dengan negara lain, termasuk di antaranya dengan Uni Eropa ini,” ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR Hasan Aminuddin di sela Rapat Dengar Pendapat Komisi IV DPR RI dengan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Senin (25/11) malam.

Menurutnya, sawit merupakan komoditas strategis dan penopang perekonomian nasional.

Komoditas ini juga telah terbukti menyumbangkan devisa negara hingga ratusan triliun rupiah. Belasan juta rakyat Indonesia menggantungkan hidupnya kepada komoditas ini.

Sawit, kata Hasan Aminuddin, juga berperan besar terhadap pembangunan daerah. Banyak daerah di luar Pulau Jawa yang perekonomiannya menggeliat karena adanya perkebunan kelapa sawit.

Komoditas ini juga banyak menyerap tenaga kerja berpindidikan rendah. Karena itu pemerintah harus memperjuangan kelapa sawit dalam berbagai forum internasional.

“Termasuk di antaranya pada lanjutan perundingan IEU-CEPA ini,” kata Hasan Aminuddin yang merupakan legislator dari Dapil Jatim II ini.

Berita Rekomendasi

Karena itu, Hasan mendukung langkah yang ditempuh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang tetap akan menjadikan sektor sawit sebagai pembahasan prioritas dalam negosiasi IEU-CEPA.

Karena hal tersebut sejalan dengan misi Presiden Joko Widodo untuk mengembangkan dan melindungi industri sawit.

Daniel Johan, Wakil Ketua Komisi IV DPR lainnya mengatakan pemerintah harus tegas mengatakan kepada Uni Eropa bahwa lanjutan perundingan IEU-CEPA bisa dilanjutkan dengan syarat menyertakan komoditas kelapa sawit dalam perundingan tersebut.

No sawit, No CEPA,” kata legislator asal Kalimantan Barat ini.

Dia pun meminta pemerintah tetap melawan aksi diskriminatif Uni Eropa (UE) terhadap minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia. Pasalnya, dalam dokumen internal Uni Eropa (UE) mengenai Delegated Act-RED II yang bocor ke publik, UE mengindikasikan bakal memperlakukan minyak kedelai secara berbeda dengan CPO.

UE memasukkan minyak kedelai sebagai produk minyak nabati yang berkategori berkelanjutan bersama minyak biji bunga matahari dan biji rapa yang diproduksi negara-negara anggota UE.

Kebijakan UE memasukkan minyak kedelai sebagai produk yang akses pasarnya dibebaskan di kawasannya, disebabkan oleh ketakutan blok negara tersebut mendapatkan retaliasi dari AS. Pasalnya, AS adalah salah satu produsen minyak kedelai yang dipasok ke UE.

“Kami parlemen Indonesia juga meminta Parlemen Eropa melihat secara objektif bahwa secara produktivitas sawit lebih produktif jika dibadingkan dengan bunga matahari (sun flower) maupun biji rapa (rapeseed),” kata Daniel.

Karena lebih produktif, maka lanjut Daniel, lahan yang digunakan sawit lebih efisien jika dibandingkan dengan tanaman bunga matahari dan biji rapa yang ditanam petani di Eropa ini.

“Kalaulah dilihat dari segi perusakan lingkungan, tanaman bunga matahari dan biji rapa jauh lebih merusak lingkungan ketimbang sawit,” paparnya.

Pihaknya juga mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia yang secara konsisten menjalankan program mandatori biodiesel. Sejak program ini dimulai pada 2014 yang mewajibkan penggunaan biodiesel sebanyak 10% (B10) pada setiap solar. Kebijakan ini terus berlanjut dan pada awal Januari mendatang kebijakan bauran energi ini sudah mencapai B20.

Program bauran energi yang mencampurkan minyak sawit ke dalam minyak solar ini tidak hanya mengurangi volume impor minyak solar saja, namun juga menimbulkan ketakutan UE.

“Eropa tidak punya pilihan juga kok. Rakyat Eropa akan berteriak, karena produk minyak nabati lain sangat mahal,” kata Daniel.

Sejatinya, kata Daniel, jika UE benar-benar melarang minyak sawit masuk ke Eropa, justru akan merugikan mereka sendiri. Pasalnya, selama ini banyak industri makanan maupun minuman mereka yang banyak menggunakan minyak sawit sebagai bahan bakunya.

Selama ini mereka membeli minyak sawit dengan harga yang murah, tapi karena minyak sawit dilarang masuk ke kawasan Eropa, maka industri di sana mau tidak mau akan membeli minyak nabati non sawit yang harganya jauh lebih mahal ketimbang minyak nabati berbasis sawit.

Kendati demikian, Daniel mendesak pemerintah agar tetap memperjuangkan sawit dalam lanjutan perundingan IEU-CEPA.

“Pemerintah harus berjuang agar sawit masuk dalam bagian pembahasan perundungan IEU-CEPA. Kita harus fight membela komoditas strategis nasional ini. Jangan sampai ada pengkhianat di dalam negeri,” katanya. (/*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas