Ekonom Ingatkan Potensi Hyper Inflasi Jika BI Kabulkan Usulan Banggar DPR Cetak Uang Rp 600 T
Mencetak uang baru bukan merupakan praktik kebijakan moneter yang biasa dilakukan BI sebagai otoritas moneter.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai usulan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI yang meminta Bank Indonesia (BI) mencetak uang sebesar Rp 600 triliun untuk menangani dampak virus corona (Covid-19) sulit direalisasikan.
Karena, rupiah bukan merupakan mata uang internasional dan BI bukan Bank Sentral Amerika Serikat (AS).
Permintaan terhadap rupiah, tidak seperti dolar AS yang biasa digunakan pada mayoritas kegiatan transaksi ekspor impor dunia.
Terlebih saat ini Indonesia juga tengah menghadapi krisis pangan akibat dampak dari wabah corona.
"Kita sudah menghadapi krisis pangan, ditambah lagi ada upaya penambahan supply uang tapi tidak berdasarkan pada permintaan," ujar Bhima kepada Tribunnews, Jumat (8/5/2020).
Menurutnya, jika pencetakan uang dalam jumlah besar itu dilakukan, maka akan terjadi inflasi yang sangat tinggi.
Baca: BI Diminta Cetak Uang Rp 600 Triliun untuk Tangani Corona, Ekonom: BI Bukan Bank Sentral AS
"Ini bisa menyebabkan hyper inflasi atau inflasi yang sangat tinggi. Ujungnya bisa memukul daya beli masyarakat," tegas Bhima.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa BI tidak akan mencetak uang demi menangani dampak corona.
Baca: DPR Bingung, Kemenhub Buka Kembali Layanan Transportasi, Padahal Kasus Corona Masih Tinggi
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam live streaming video conference terkait Perkembangan Ekonomi Terkini, Rabu (6/5/2020).
Dia menegaskan, mencetak uang baru bukan merupakan praktik kebijakan moneter yang biasa dilakukan BI.
Baca: Lion Air Group akan Kembali Terbang Mulai 10 Mei 2020
"Pandangan-pandangan BI (perlu atau tidaknya) mencetak uang, itu bukan praktik kebijakan moneter yang lazim dan tidak akan dilakukan di Bank Indonesia," ujar Perry, pada kesempatan itu.
Perry menambahkan, kebutuhan masyarakat bisa diukur dari angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Baca: Naik Porsche Sambil Bagikan Uang dan Bingkisan, Crazy Rich Surabaya Ini Sindir Ferdian Paleka
Namun demikian, ia menekankan bahwa praktik ini tentunya harus sesuai dengan tata kelola Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Misalnya pertumbuhan ekonomi 5 persen dan inflasinya 3 persen, kurang lebih kenaikan pencetakan uang sekitar 8 persen. Kalau ingin tambah stok barangkali 10 persen, keseluruhan proses ini sesuai tata kelola dan diaudit BPK," kata Perry Warjiyo.
Perlu diketahui, sebelumnya Badan Anggaran (Banggar) DPR mengusulkan agar BI melakukan pencetakan uang dalam upaya menangani dampak corona.
Jumlah uang yang diusulkan untuk dicetak pun mencapai Rp 600 triliun.