Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Cukai Rokok, dari Masalah Harga hingga Jadi Konsumsi Anak-anak

Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menyatakan, harga rokok sekarang

Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Cukai Rokok, dari Masalah Harga hingga Jadi Konsumsi Anak-anak
Tribunnews
Ilustrasi 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menyatakan, harga rokok sekarang kurang mahal, sehingga anak-anak masih bisa membeli.

PJKS UI Renny Nurhasana mengatakan, masalah rokok bagi anak-anak ini bukan hanya satu sektor saja dari orang tua yang perokok, tapi ternyata sampai ke generasi berikutnya.

"Kami sampai pada prakteknya adalah kita tahu harga rokok itu murah, dari Rp 20 ribu, Rp 25 ribu. Itu masih terjangkau oleh anak-anak," ujarnya dalam webinar, Sabtu (5/9/2020).

Baca: Ekonom UI Bilang Sistem Cukai Rokok Indonesia Paling Rumit Sedunia

Menurutnya, dari hasil pengumpulan bukti-bukti penelitian selama dua setengah tahun menyimpulkan bahwa orang tua perokok bikin anaknya stunting atau kerdil.

Renny mengatakan, hubungan antarkedua hal itu karena pendapatan orang tua banyak keluar untuk beli rokok, bukan makanan bergizi bagi anak.

"Memang berat badannya, tinggi badannya itu jauh lebih rendah dibandingkan orang tuanya tidak merokok. Ini satu diantaranya karena substitusi pendapatan mereka yang digunakan tidak untuk kebutuhan yang dibutuhkan anaknya," ujar Renny.

Baca: Peneliti UI: Harga Rokok Sekarang Kurang Mahal, Anak-anak Masih Bisa Membeli

Berita Rekomendasi

Dari sisi ekonomi, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Vid Adrison menjelaskan, kalau pemerintah mau pro pengendalian konsumsi tembakau maka implikasinya adalah pendapatan negara tergerus.

Sementara, jika pemerintah seandainya mau pro ke pendapatan negara dari cukai rokok maka implikasinya ke pengendalian tersebut.

"Jadi ini tidak nyambung, tidak nyambung karena pendapatan pajak kita rendah, rasionya 9 persen terhadap GDP. Implikasinya adalah sumber penerimaan pajak rendah maka pemerintah akan mengejar dari cukai ini, padahal cukai untuk pengendalian, bukan pendapatan," katanya.

Baca: Lewat Operasi Gempur Bea Cukai Amankan Ratusan Ribu Batang Rokok Ilegal di Empat Provinsi

Disisi lain, jika ada negara lain berhasil mengendalikan konsumsi tembakau itu karena rasio pendapatan pajaknya sudah besar, sehingga cukai benar-benar murni untuk pengendalian.

"Selama pendapatan pajak kita rendah, tidak akan selesai karena kalau di negara lain, kontribusi cukai ke pendapatan negara kecil, mereka bisa dapat dari pajak lain. Selama tidak jelas cukai mau ke arah mana dan selama pendapatan pajak tidak meningkat, ini tidak akan selesai," tutur Vid.

Harga rokok dinilai lebih mahal dari makanan warteg

Menjawab polemik itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai membantah argumentasi peneliti Universitas Indonesia bahwa harga rokok murah karena nyatanya lebih mahal dari makanan di warteg.

Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Ditjen Bea Cukai Sunaryo mengatakan, Indonesia menempati urutan ke-129 dalam indeks restoran dunia atau termasuk golongan murah ketimbang Bermuda dan Swiss yang berada di urutan dua teratas.

"Jadi, kalau kita membandingkan restoran antarnegara, nomor satu Bermuda, nomor 2 Swiss. Memang murah daya beli barang-barang di sini, jadi nominal (harga rokok) tidak serta-merta mencerminkan murah karena harga rokok di sini dua kali (harga) makan di warteg," ujarnya.

Lebih rinci lagi, dia mencontohkan harga rokok putih paling favorit di Jepang sebesar 502 yen atau sekira Rp 66 ribu dan harga makanan 'warteg' di Jepang kisaran Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu dalam rupiah.

"Kalau makan di restoran pinggir jalan di Jepang Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu atau harga rokok separuh (harga makanan). Sekarang bandingkan dengan kita, harga rokok Rp 20 ribu, makan di warteg sekira Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu," kata Sunaryo.

Adapun, menurut dia naiknya tarif cukai rokok sebanyak 23 persen tahun ini sudah jadi bukti pemerintah melakukan pengendalian terhadap konsumsi tembakau.

"Sebenarnya kenaikan tarif cukai kita sudah sangat pengendalian. Tarifnya naik 23 persen, tapi itu penerimaan (negara dari cukai) per Juli 2020 hanya naik 6 persen," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas