Pengamat: Pembahasan RUU Cipta Kerja Terburu-buru dan Tidak Lewat Kajian Mendalam
Pada Sabtu (3/10/2020) malam, dalam pembicaraan Tingkat I, DPR dan pemerintah sepakat RUU Cipta Kerja akan dibawa ke Rapat Paripurna.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, Badan Legislasi (Baleg) DPR terlalu terburu-buru dalam membahas dan menggesa pengesahan RUU Cipta Kerja.
Pada Sabtu (3/10/2020) malam, dalam pembicaraan Tingkat I, DPR dan pemerintah sepakat RUU Cipta Kerja akan dibawa ke Rapat Paripurna.
Menurut Bhima, banyak pasal-pasal substantif yang harus dikaji secara mendalam.
"Pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja terlalu terburu-buru padahal banyak pasal substantif yang harus dikaji secara lebih mendalam," kata Bhima saat dihubungi Tribunnews, Minggu (4/10/2020).
Baca: Fraksi PKS dan Demokrat Resmi Tolak RUU Cipta Kerja, Alasannya Ini
Bhima mencontohkan beberapa pasal yang dianggapnya bermasalah, yaitu terkait dengan keterbukaan impor pangan.
Hal itu akan merugikan petani, hanya karena ditekan pihak asing lalu regulasi perlindungan petani dirubah secepat kilat.
Baca: KSBSI Klaim Tak Akan Ikut AksI Mogok Nasional Tolak RUU Cipta Kerja, Ini Alasannya
"Ini kontradiktif terhadap upaya meningkatkan kemandirian pangan. pemerintah buat food estate, cetak sawah tapi pintu impor dibuka sebebas-bebasnya melalui omnibus law cipta kerja. Ketika ditanya mana kajiannya, mereka tidak bisa jawab. kan ini lucu ya," ucapnya.
Kemudian, terkait pasal di klaster ketenagakerjaan juga dibahas tanpa memperhitungkan dampak pada nasib pekerja yang rentan kena PHK.
Pesangon dikurangi padahal, semua tahu dalam kondisi resesi, pekerja butuh perlindungan.
Menurutnya, jika model regulasi yang mengatur banyak hal dibahas secepat ini, dia khawatir investasi justru tidak naik pasca-omnibus law diserahkan.
"Hal ini karena Investor dari negara maju sangat memandang serius hak-hak pekerja. Decent labor dan fair labor itu menjadi standar investasi internasional. Msalnya ada pabrik tekstil mau relokasi ke Indonesia, kemudian dilihat ternyata hak-hak pekerja dengan disahkannya omnibus law berkurang signifikan," ujarnya.
"Ini kemudian membuat brand internasional urung berinvestasi dan mencari negara lain. sayangnya yang membuat omnibus law cipta kerja ini tidak menyadari kesalahan fatal tersebut," pungkas Bhima.
Rapat Kerja Pengambilan Keputusan Tingkat I yang digelar DPR dan pemerintah pada Sabtu (3/10/2020) menghasilkan kesepakatan bahwa Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja akan dibawa ke rapat paripurna.
Dalam rapat itu, diketahui hanya dua fraksi yang menyatakan penolakan terhadap RUU Ciptaker yakni Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).