Ekonom INDEF: Pasal 161 UU Cipta Kerja Janggal, Urusan Audit Lembaga Bukan Kewenangan BPK
Yang dapat melakukan audit terhadap lembaga itu hanya akuntan publik yang terdaftar pada BPK dan OJK.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menyoroti pembentukan Lembaga Pengelolaan Investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SWI) dalam Undang-undang (UU) Cipta Kerja, termasuk terkait pasal 161.
Dalam pasal tersebut berbunyi 'Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Lembaga dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar pada Badan Pemeriksa Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan'.
Sehingga dengan kata lain, yang dapat melakukan audit terhadap lembaga itu hanya akuntan publik yang terdaftar pada BPK dan OJK.
"Pasal 161 juga menegaskan kembali bahwa bukan BPK yang melakukan audit, tapi akuntan publik. Bagaimana bisa didefinisikan kerugian Negara, kalau UU Cipta Kerja sudah mengunci ruang pengawasan yang baik?," ujar Bhima, kepada Tribunnews, Selasa (3/11/2020).
Baca juga: Baru Disahkan, Pasal UU Cipta Kerja Kembali Jadi Kontroversi karena Kesalahan, Pakar: Sangat Fatal
Sebelumnya, Bhima juga menilai pembentukan LPI kurang tepat jika bertujuan untuk menarik investasi langsung.
Ia menggarisbawahi Pasal 158 ayat 4 yang berbunyi 'Keuntungan atau kerugian yang dialami Lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan keuntungan atau kerugian Lembaga'.
Baca juga: Sederet Pasal Kontroversial UU Cipta Kerja yang Resmi Berlaku, Pekerja Terancam Kontrak Seumur Hidup
"Kurang tepat ya untuk menarik investasi langsung (FDI), yang terjadi adalah pola penerbitan surat utang dengan jaminan aset pemerintah dan BUMN, ini yang berisiko tinggi apabila gagal bayar, maka aset akan disita," kata Bhima.
Bhima juga menilai bentuk investasi para investor dilakukan dalam bentuk pembelian surat utang atau obligasi.
"Investasi yang masuk kalaupun ada, dengan cara investor membeli surat utang dari lembaga ini. Kemudian yang jadi persoalan ada terkait tata kelola dan celah korupsi," jelas Bhima.
Ia kembali merujuk pada pasal 158 yang menurutnya kontradiktif dan bisa merugikan keuangan negara jika terjadi kesalahan dalam pengelolaan aset.
"Dalam UU Cipta Kerja pasal 158 punya implikasi bahwa kerugian/keuntungan lembaga bukan kerugian Negara padahal asetnya merupakan aset Negara. Di sini ada celah merugikan keuangan Negara dalam jangka panjang apabila nilai aset Negara menurun karena salah kelola," tegas Bhima.
Perlu diketahui, UU Cipta Kerja ini telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin, 2 November 2020, secara otomatis UU ini pun kini mulai berlaku.