Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

KPPU Endus Ada Monopoli Pengiriman Ekspor, Perusahaan Logistik Benur Terancam Denda Rp 1 Miliar

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat ini sedang meneliti terkait dugaan monopoli ekspor benih lobster.

Penulis: Hari Darmawan
Editor: Sanusi
zoom-in KPPU Endus Ada Monopoli Pengiriman Ekspor, Perusahaan Logistik Benur Terancam Denda Rp 1 Miliar
KONTAN/MURADI
KPPU 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat ini sedang meneliti terkait dugaan monopoli ekspor benih lobster.

Komisioner KPPU Guntur Saragih mengatakan, penelitian yang dilakukan oleh KPPU berangkat dari laporan asosiasi yang bergerak di industri benur.

Guntur Saragih mengatakan ada dugaan pelanggaran pada kasus ekspor benih lobster.

Baca juga: Kasus Benur Edhy Prabowo, KPK Buka Peluang Tetapkan PT ACK Tersangka Korporasi

Baca juga: Gara-gara Benur Gerindra Babak Belur

Baca juga: Dua Buron Kasus Suap Ekspor Benur Langsung Ditahan KPK

Namun dugaan pelanggaran tersebut bukan pada pemberian izin ekspornya, melainkan dalam hal pendistribusian logistiknya.

"Kami saat ini tengah melakukan penelitian terkait ekspor baby lobster ini, nanti hasilnya akan kita rilis kemungkinan Senin depan," ucap Guntur di Jakarta, Selasa (1/12/2020).

Ia juga menyebutkan, bila ada bukti terkait monopoli ekspor baby lobster ini maka perusahaan tersebut dapat dikenakan sanksi yang mengacu pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 atau Undang-undang Cipta Kerja.

"Tentunya akan ada sanksi yang diatur dalam beleid Undang-undang persaingan usaha, dendam apabila terbukti ada monopoli minimal Rp 1 miliar," kata Guntur.

Berita Rekomendasi

Sanksi yang akan diberikan apabila terbukti, lanjut Guntur, akan mengacu pada Undang-undang Cipta Kerja yang ketentuanya denda minimal Rp 1 miliar dan tanpa ada maksimal atau batasan denda.

Menurut Guntur, sebelumnya sanksi untuk pelaku usaha yang melakukan monopoli mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang memberikan sanksi denda maksimal Rp 25 miliar.

"Saat ini sudah ada Undang-Undang Cipta Kerja, jadi sanksi yang diberikan apabila terbukti melakukan monopoli tidak ada maksimum bisa lebih dari Rp 25 miliar," ucap Guntur.

Terkait dugaan monopoli ekspor benih lobster ini, ungkap Guntur, dicurigai dilakukan sebuah perusahaan logistik dengan cara menaikkan harga pengiriman ekspor benih lobster jauh di atas rata-rata harga normal.

Guntur juga menyebutkan, KPPU menemukan satu alat bukti yang mengarah kuat ke monopoli maka akan menaikkan perkara ini ke tingkat penyidikan.

"Kemudian secara paralel, KPPU telah memanggil 40 eksportir untuk dimintai keterangan terkait kepentingan penelitian dugaan monopoli ekspor benih lobster," ujar Guntur.

Terpisah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka kemungkinan untuk menetapkan PT Aero Citra Kargo (ACK) sebagai tersangka korporasi dalam kasus dugaan suap perizinan ekspor benih lobster atau benur yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan bahwa hal ini dimungkinkan bilamana ditemukan bukti-bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan PT ACK sebagai tersangka korporasi.

"Jika kemudian ditemukan ada bukti permulaan yang cukup, KPK tidak segan untuk menetapkan pihak-pihak lain sebagai tersangka dalam perkara ini termasuk tentu jika ada dugaan keterlibatan pihak korporasi," kata Ali lewat pesan singka kepada Tribun.

Dalam kasus ini, Edhy bersama enam orang lainnya dijerat sebagai tersangka lantaran diduga telah menerima sejumlah uang dari Suharjito, Chairman Holding Company PT Dua Putera Perkasa (DPP).

Perusahaan Suharjito itu telah 10 kali mengirim benih lobster dengan menggunakan jasa PT Aero Citra Kargo.

Diketahui, untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT Aero Citra Kargo dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor.

Penggunaan PT Aero Citra Kargo sebagai satu-satunya perusahaan kargo ekspor benur membuat tarif ekspor semakin mahal.

Berdasarkan data kepemilikan, pemegang PT ACK terdiri dari Amri dan Ahmad Bahtiar yang diduga merupakan nominee dari pihak Edhy Prabowo serta Yudi Surya Atmaja. Ali melanjutkan, untuk saat ini lembaga antirasuah tengah fokus pada pembuktian pengenaan pasal terhadap para tersangka.

"Setelah nanti memeriksa sejumlah saksi, akan dilakukan analisa lebih lanjut dari hasil pemeriksaan tersebut," kata Ali.

Dalam perkara ini KPK menetapkan total tujuh orang sebagai tersangka.Enam orang sebagai penerima suap yakni Edhy Prabowo; stafsus Menteri KP, Safri dan Andreau Pribadi Misata; Pengurus PT ACK, Siswadi; staf istri Menteri KP, Ainul Faqih; dan Amiril Mukminin (swasta).

Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Sedangkan pihak pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito.

Ia disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.(Tribun Network/ham/har/wly)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas