Berkontribusi Besar, Investasi Industri HPTL Berbasis Riset Perlu Didorong
Willy Aditya menyerukan pentingnya solusi alternatif terhadap produk-produk tembakau yang berkontribusi besar terhadap pendapatan negara.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri hasil produk tembakau lainnya (HPTL) yang didominasi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) telah berhasil menyumbang penerimaan cukai senilai Rp426,6 miliar.
Sementara tahun lalu, dalam kondisi pandemi, kontribusinya tumbuh sampai 60 persen menjadi Rp680,3 miliar.
Anggota Komisi XI DPR RI Willy Aditya menyerukan pentingnya solusi alternatif terhadap produk-produk tembakau yang berkontribusi besar terhadap pendapatan negara.
Baca juga: Cukai Hasil Tembakau Naik, Bagaimana Nasib Petani dan Tenaga Kerja?
“Harus fair menilai rata-rata pemasukan negara dari cukai tembakau juga besar, meskipun ada kritik terhadapnya. Makanya perlu ada insentif inovasi bagi industri olahan tembakau untuk pengembangan produk agar dapat diterima publik,” kata Willy, Selasa (2/3/2021).
Rantai pasok industri HPTL yang cukup kompleks disebut Willy juga bisa jadi peluang buat masuknya investasi lebih banyak.
Dengan kompleksitasnya, insentif ke industri HPTL juga secara simultan bakal mendorong industri lain, semisal industri kimia, industri alat-alat kimia, sampai industri pengemasan.
Dia menyebut, Undang-Undang Cipta Kerja yang dihasilkan DPR bersama pemerintah bisa jadi sarana mendorong investasi di sektor industri ini.
Sekarang giliran pemerintah untuk memanfaatkan beleid tersebut sekaligus regulasi turunannya untuk menciptakan iklim investasi yang sederhana, mudah dan cepat, dan berperan aktif dalam menarik investor masuk ke tanah air.
“Industri tembakau harus dilihat dengan lebih terbuka, kita harus jujur dan adil menilai realitas, termasuk dalam hal produk hasil tembakau ini. Karena tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat,” sambungnya.
Willy juga mengimbau agar pabrikan rokok, terutama yang besar dan memiliki sumber daya, untuk berinvestasi di industri HPTL.
Pasalnya, selain berkontribusi pada penerimaan negara, produk HPTL pun memiliki dampak eksternalitas yang lebih rendah.
Peneliti Indef Bhima Yudhistira pun sepakat, industri HPTL memang bisa jadi solusi alternatif mendorong investasi, apalagi tahun ini pemerintah punya target yang cukup ambisius untuk merealisasikan investasi Rp900 triliun.
“HPTL ini merupakan produk inovasi dengan risiko kesehatan yang lebih rendah, tidak heran jika pelaku usaha mau berinvestasi dan menyerap tenaga kerja karena peluangnya besar,” kata Bhima.
Baca juga: Pengusaha Berharap Pemerintah Tak Naikkan Cukai Tembakau pada 2021
Untuk lebih mendorong perkembangan industri ini dan banyak yang melakukan investasi, pemerintah dapat memberikan insentif fiskal.
Misalnya melalui kebijakan tarif cukai yang lebih rendah yang sesuai dengan risiko produknya.
“Penyesuaian tarif cukai untuk HPTL saja akan sangat signifikan meningkatkan investasi di produk inovatif. Pemerintah sebaiknya memang membuka ruang diskusi lebih lanjut dengan pelaku usaha atau investor untuk merumuskan insentif apa yang cocok diberikan,” sambungnya.
Saat ini produk-produk HPTL dikenakan sistem tarif cukai persentase (ad valorem) sebesar 57 persen dari harga jual eceran (HJE). Sistem ini berbeda dengan yang diberlakukan atas produk rokok konvensional yang menggunakan sistem tarif cukai spesifik yang lebih sederhana.
Skema ad valorem sejatinya dirasa memberatkan para pelaku industri HPTL.
Terlebih, besaran tarif 57 persen itu merupakan yang tertinggi dalam Undang-Undang Cukai dan lebih tinggi dari rerata persentase tarif cukai untuk rokok konvensional.
Padahal, produk-produk HPTL dan rokok elektrik memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dibandingkan rokok konvensional.
Ini sudah dibuktikan oleh penelitian Public Health England, divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, pada 2015 dan 2018, serta diperbaharui pada tahun 2020 yang menyatakan bahwa rokok elektrik memiliki risiko 95 persen lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional.