MTI Nilai Sistem Kemitraan Driver Online Sudah Tepat
Berbeda dengan negara lain, pemerintah Indonesia mengatur tarif minimum per kilometer yang wajib dipatuhi oleh perusahaan aplikator
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai sistem kerja pengemudi transportasi daring atau driver online di Indonesia yang menganut asas kemitraan dan masih berbasis komisi atau bagi hasil sudah tepat.
Hal itu menyusul kebijakan driver online di Inggris yang mendapat status karyawan.
Sekretaris Jenderal MTI Harya S. Dillon mengatakan transportasi daring berbasis sistem kerja sama eperti waralaba karena mereka menggunakan aset mereka sendiri, namun memakai brand dari aplikator di mana mereka bernaung sebagai mitranya.
Baca juga: Viral Kisah Ojol Bantu Lipat Boks saat Menunggu Pesanan
“Kalau mereka mau menuntut seperti yang dilakukan di Inggris, di mana pengemudi Uber itu bisa dianggap worker, itu tidak sama. Worker itu bukan employee atau karyawan, dan mereka dibayar per jam dan ada ketentuan harus masuk kantor," ujarnya kepada wartawan, Rabu (24/3/2021).
"Sementara di sini, sistem yang dianut adalah sistem komisi. Jadi putusan hukum yang diambil di Inggris itu tidak serta-merta bisa kita terapkan di sini,” terang dia.
Seperti yang diketahui, industri transportasi daring sudah diatur lebih awal di Indonesia dibanding di Inggris, yakni melalui Permenhub No 118 Tahun 2018 untuk taksi online dan Permenhub No 12 Tahun 2019 untuk ojek online.
Berbeda dengan negara lain, pemerintah Indonesia mengatur tarif minimum per kilometer yang wajib dipatuhi oleh perusahaan aplikator dan diterima oleh mitra driver online.
Tarif ditetapkan dengan menghitung standar kehidupan layak dan biaya operasional driver, seperti biaya bensin, pemeliharaan dan penyusutan kendaraan, pulsa dan data, profit mitra, serta biaya program jaminan sosial BPJS.
Aturan di Indonesia juga lebih lengkap memuat aspek, keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan serta keteraturan, dan disusun berdasarkan masukan dari asosiasi driver online.
MTI melihat perbedaan pada faktor yang menjadi dasar dalam pengambilan keputusan hukum oleh Mahkamah Agung di Inggris itu.
Baca juga: Transportasi Umum Berbasis EV Paling Efektif Kurangi Polusi
Keputusan yang mengabulkan kenaikan status pengemudi transportasi daring Uber menjadi setara pekerja (worker) itu diambil dikarenakan pengemudi Uber itu menuntut adanya tunjangan pensiun yang pembayarannya dilakukan dengan memangkas upah mereka.
“Setiap negara mempunyai hukum dan peraturannya sendiri-sendiri dan tidak bisa dijadikan acuan karena konteks yang berbeda. Bahkan di California yang merupakan pusat teknologi, hasil referendum justru membatalkan tuntutan serupa, yang mana pengemudi transportasi daring tidak dikategorikan pekerja tetapi melainkan kontraktor independen,” terang Harya.
MTI bersedia melakukan kajian lebih lanjut terkait status industrial para pengemudi transportasi daring ini ke depannya.