Pengusaha Ritel: Rencana Pengenaan PPN Multitarif Kurang Tepat di Situasi Pandemi
Aprindo meminta pemerintah meninjau kembali wacana ini dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, 25 Agustus 2021.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan rencana penerapan PPN multitarif pada situasi pandemi sangat kurang tepat.
Ia meminta pemerintah meninjau kembali wacana ini dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, 25 Agustus 2021.
"Kurang tepat karena ritel modern (pasar swalayan) saat ini sedang dalam kondisi terpuruk dihantam badai pandemi Covid-19, ditandai dengan berhenti beroperasinya hampir 1.500 gerai ritel modern dalam kurun waktu 18 bulan terakhir," tuturnya dikutip Sabtu (28/8/2021).
Kenaikan tarif PPN secara umum dari 10 persen menjadi 12 persen akan berdampak pada melandainya daya beli masyarakat.
Padahal konsumsi rumah tangga menjadi kontributor terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 mencapai 7,07 persen.
Baca juga: Insentif PPN Diperpanjang, Penjualan Sektor Properti Diyakini Makin Menggeliat
"Kecenderungan terjadinya peningkatan laju inflasi yang signifikan seiring dengan kenaikan harga barang akibat kenaikan tarif pajak.
Baca juga: Pembebasan PPN Diyakini Bisa Kerek Penjualan Rumah Tapak dan Rusun Hingga 15 Persen
Roy menambahkan, situasi ini akan lebih tergerus lagi saat dikenakannya sistem multi tarif terendah 5 persen dan tertinggi 15 persen.
Baca juga: Pembebasan PPN dan Promo, Pengembang Apartemen Optimistis Produknya Terjual Habis
Ini mengakibatkan pembebanan pada masyarakat berpenghasilan rendah atau marginal senilai minimal persen yang sebelumnya tidak terkena.
"Belum lagi dengan dampak perbedaan multitarif PPN tersebut antar barang yang dijual pada peritel modern, berpotensi akan membangunkan black shadow market maupun peningkatan belanja barang di luar negeri yang harganya lebih bersaing," urainya,
Roy juga meminta, pemberlakuan PPh minimal 1 persen pada pendapatan/omzet kotor atas perusahaan yang berstatus rugi dapat ditangguhkan.
"PPH minimal ini akan menambah beban tambahan bagi berbagai sektor termasuk peritel yang mengalami kerugian," imbuhnya.
Diharapkan pemerintah melakukan langkah kebijakan strategis agar tidak banyak terjad penutupan gerai, hilangnya investasi hingga PHK massal.