Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Per Juli 2021 Dana Pemda yang Mengendap di Bank Rp 173,73 Triliun

Dalam tiga tahun terakhir belanja birokrasi mencapai 59 persen dari total anggaran daerah.

Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Per Juli 2021 Dana Pemda yang Mengendap di Bank Rp 173,73 Triliun
Ist
Menkeu Sri Mulyani 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah daerah di Indonesia ternyata belum optimal dalam melakukan tata kelola keuangan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan tata kelola penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Pemda) selama ini belum optimal, terlihat dari sebagian besar yang memiliki nilai reformasi dan birokrasi yang rendah, yakni kebanyakan di level C atau CC.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, belum optimalnya tata kelola keuangan di daerah juga bisa terlihat dari belanja birokrasi yang menghabiskan lebih dari setengah porsi anggaran daerah.

Belanja birokrasi itu di dalamnya termasuk belanja barang dan belanja pegawai, yakni gaji para PNS/ASN.

Sri Mulyani mengatakan, dalam tiga tahun terakhir belanja birokrasi mencapai 59 persen dari total anggaran daerah.

"Pengelolaan keuangan daerah belum optimal dengan indikasi besarnya belanja birokrasi seperti belanja pegawai dan barang jasa yang rata-rata mencapai 59 persen dari total anggaran daerah dalam 3 tahun terakhir ini," ujar Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI, Senin (13/9/2021).

Dari mayoritas dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD), kata Sri Mulyani, digunakan untuk belanja pegawai, bukan untuk belanja produktif yang bisa mendorong pembangunan daerah.

"Meskipun 70 persen atau hampir 70 persen dari APBD itu berasal dari TKDD. Ini berarti transfer yang diberikan ke daerah dan merupakan mayoritas atau sumber utama dari daerah belum bisa mendorong pembangunan daerah," jelasnya.

BERITA TERKAIT

Sri Mulyani menekankan untuk Dana Alokasi Umum (DAU) memiliki korelasi yang cenderung positif terhadap belanja pegawai sehingga menjadi dasar dalam formula DAU yakni mendorong peningkatan jumlah pegawai.

Baca juga: Kemenkeu Tambah Dua Perusahaan untuk Bayar Pajak Digital

Hal ini tidak searah dengan esensi DAU yakni sebagai alat dalam memberikan pelayanan dasar bagi masyarakat, mengurangi ketimpangan dan mendukung kecukupan pendanaan untuk pelaksanaan urusan yang diserahkan ke daerah oleh pemerintah pusat.

Sementara untuk belanja modal, mayoritas daerah mengandalkan Dana Alokasi Khusus (DAK). Padahal porsi DAK jauh lebih kecil.

"Jadi makin besar DAU-nya justru habis untuk pegawai. Korelasi positif interpretasinya seperti itu. Sedangkan DAK yang secara nominal nilainya lebih kecil dari DAU memiliki korelasi pada belanja modal. Artinya belanja modal di daerah sangat tergantung pada transfer pusat. Bukan dari DAU di mana DAU-nya lebih banyak dipakai untuk pegawai," tuturnya.

Dengan demikian, ia mengatakan telah terjadi fenomena crowding out, yaitu ketika Pemerintah Daerah menggunakan DAK sebagai sumber utama belanja produktif.

Padahal, esensi DAK adalah sebagai pelengkap dan penunjang dari dana keseluruhan TKDD maupun APBD.

"Pemda gunakan DAK sebagai sumber utama untuk belanja produktif. Padahal esensi DAK sebagai pelengkap, penunjang dari yang disebut dana keseluruhan TKDD atau APBD daerah tersebut," tambahnya.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas