Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

AS Terancam Gagal Bayar Utang Senilai Rp 400 Ribu Triliun, Apa Dampaknya untuk RI?

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, kemungkinan AS akan gagal bayar utang sangat kecil.

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Sanusi
zoom-in AS Terancam Gagal Bayar Utang Senilai Rp 400 Ribu Triliun, Apa Dampaknya untuk RI?
AFP
Presiden AS Joe Biden 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Amerika Serikat (AS) dikabarkan mempunyai utang berkisar 28,4 triliun dolar AS, dan berpotensi gagal bayar.

Bila dikonversi menjadi Rupiah, nilai tersebut setara dengan Rp 405 ribu triliun (asumsi kurs dolar AS: Rp 14.276).

Potensi gagal bayar ini disebabkan belum adanya titik terang pembahasan kenaikan batas plafon utang pada Kongres Parlemen AS.

Baca juga: Joe Biden Dorong Kongres AS Naikkan Batas Utang dan Minta Partai Republik untuk Menyingkir

Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengingatkan bahwa anggota parlemen memiliki waktu hingga Oktober mendatang, sebelum Kementerian Keuangan mengoptimalkan upayanya untuk mencegah apa yang disebut sebagai risiko gagal bayar utang dalam sejarah AS.

Lalu, apa dampaknya bagi Indonesia jika Amerika Serikat benar-benar gagal membayar utang?

Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, kemungkinan AS akan gagal bayar utang sangat kecil.

Berita Rekomendasi

“Hal tersebut karena kemampuan mencetak dolar Amerika Serikat dan kepercayaan investor, perbankan terhadap Treasury bond (surat utang AS) masih tinggi,” ucap Bhima saat dihubungi Tribunnews, Selasa (5/10/2021).

Baca juga: Bencana Ekonomi AS Imbas Gagal Bayar Utang Kurang dari 3 Pekan, Biden: Nasib di Tangan Kongres

“Sekarang ini problemnya belum ada kesepakatan soal debt ceiling atau batasan utang yang diperbolehkan. Artinya, seberapa besar penambahan utang baru AS yang disetujui oleh kongres itu yang jadi perdebatan,” sambungnya.

Bhima juga membeberkan, apabila AS benar-benar tak bisa memenuhi kewajiban utang tersebut, maka dampak negatifnya akan dirasakan secara global.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira (SS KompasTV)

Setelah krisis pandemi, bisa saja muncul krisis utang lagi, dan lebih dahsyat dari 2008. Karena tahun 2008 pemicunya adalah utang swasta, namun saat ini pemicunya adalah utang pemerintah.

Kemudian, dampak dari gagal bayar utang jika tidak diantisipasi akan memicu keluarnya dana asing dari negara berkembang seperti Indonesia. Karena investor mencari aset yang aman.

Baca juga: Melebihi Batas, Utang AS Tembus 28,42 Triliun USD, Menambah Ketidakpastian Pasar Keuangan

“Problemnya, surat utang AS dan dolar AS itu kan selama ini safe haven aset, kalau runtuh trust-nya maka investor bisa lompat ke emas. Jadi modal keluar dari bursa saham, beralih ke instrumen emas batangan. Itu bisa jadi,” terang Bhima.

“Pelemahan nilai tukar rupiah otomatis tidak bisa dihindari, cadangan devisa akan tersedot untuk stabilisasi rupiah. Kinerja ekspor juga akan terpukul karena krisis utang membuat pemulihan ekonomi di negara mitra dagang Indonesia kembali terganggu,” pungkasnya.

Bertumpu ke Kongres

Sebagai informasi sebelumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengatakan pemerintah federal dapat melanggar batas utang 28,4 triliun dolar AS dan mengalami gagal bayar bersejarah.

Dalam gambar yang dirilis oleh Gedung Putih ini, Presiden AS Joe Biden berbicara di telepon dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron pada 22 September 2021, di Kantor Oval Gedung Putih di Washington, DC. Biden dan Macron berbicara untuk pertama kalinya sejak perselisihan meletus atas penjualan kapal selam ke Australia.
Presiden AS Joe Biden. (AFP)

Biden melanjutkan, hal tersebut dapat dikendalikan apabila Partai Republik bergabung dengan Demokrat dalam pemungutan suara untuk menaikkan plafon atau batas utang dalam dua minggu ke depan.

Senat Partai Republik, yang dipimpin oleh Pemimpin Minoritas Mitch McConnell, telah dua kali dalam beberapa pekan terakhir memblokir tindakan untuk menaikkan plafon utang.

Presiden Joe Biden mengatakan, mereka menginginkan tindakan tetapi tidak akan membantu dengan memberikan suara untuk langkah tersebut.

Partai Republik mengatakan Demokrat dapat menggunakan manuver parlementer yang dikenal sebagai rekonsiliasi anggaran untuk bertindak sendiri.

"Menaikkan batas utang berarti membayar utang kita, bukan sesuatu yang baru," kata Biden seperti dikutip Tribunnews dari Reuters, Selasa (5/10/2021).

Biden juga tidak menjamin bahwa AS tidak akan melanggar batas utang. Intinya, nasib berada di tangan kongres.

"Tidak, saya tidak bisa (menjamin). Itu terserah Mitch McConnell,” ucap Biden.

McConnell selama berbulan-bulan telah mengatakan bahwa Demokrat harus menggunakan proses rekonsiliasi anggaran untuk menyiasati aturan filibuster Senat, yang mengharuskan 60 dari 100 anggota setuju untuk meloloskan sebagian besar undang-undang.

Pemimpin Mayoritas Senat Chuck Schumer, seorang Demokrat, telah menolak untuk menggunakan pendekatan itu, dan Biden pada hari Senin memohon agar Partai Republik tidak memblokir tindakan dengan filibuster.

Dalam sebuah surat terbuka kepada Biden, McConnell menegaskan kembali bahwa Demokrat tidak memerlukan kerja sama Partai Republik untuk meloloskan RUU untuk menaikkan plafon utang.

Sebagai informasi, pada akhir bulan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat AS meloloskan dan mengirim ke Senat RUU untuk menangguhkan batas pinjaman keuangan hingga akhir 2022.

Diingatkan Yellen

Menteri Keuangan Janet Yellen pekan lalu juga telah memperingatkan anggota parlemen bahwa pemerintah Amerika Serikat akan kehabisan kemampuan pinjaman federal sekitar 18 Oktober.

Kegagalan untuk bertindak dapat memiliki konsekuensi ekonomi yang sangat buruk.

Baca juga: Janet Yellen Ditunjuk Bidden Jadi Menkeu AS, Ini Kata Sri Mulyani

Bulan lalu Moody's memperingatkan bahwa default dapat menyebabkan penurunan hampir 4 persen dalam kegiatan ekonomi, hilangnya hampir 6 juta pekerjaan, tingkat pengangguran mendekati 9 persen, aksi jual saham yang dapat menghapus 15 triliun dolar AS kekayaan rumah tangga dan lonjakan suku bunga hipotek, serta pinjaman konsumen dan utang bisnis.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas