Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pengamat UI: Penggunaan Dana APBN untuk Kereta Cepat Demi Selesaikan Proyek Sesuai Jadwal

Pemerintah menyuntikkan dana Rp 4,3 triliun yang diambil dari APBN untuk membiayai proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) senilai Rp 4,3 triliun

Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Pengamat UI: Penggunaan Dana APBN untuk Kereta Cepat Demi Selesaikan Proyek Sesuai Jadwal
TRIBUNNEWS/Jeprima
Aktivitas pekerja menyelesaikan proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di kawasan Cawang, Jakarta Timur, Sabtu (5/6/2021).Tribunnews/Jeprima 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah akan menyuntikkan dana Rp 4,3 triliun yang diambil dari APBN untuk membiayai proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) senilai Rp 4,3 triliun.

Dana tersebut akan disuntikkan dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN) untuk pemenuhan base equity capital KCJB kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI selaku lead konsorsium.

Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto menilai keputusan menggunakan APBN dalam pendanaan proyek ini bertujuan untuk memastikan penyelesaian kereta cepat Jakarta-Bandung tepat waktu.

Apalagi, kata Toto, saat ini progres proyek pengerjaan kereta cepat Jakarta - Bandung sudah mencapai 79 persen. 

"Karena itu perlu ada langkah rescue jangka pendek dengan PMN supaya progress project jalan sesuai jadwal. Mustinya di akhir 2022 sudah bisa dioperasikan,” kata Toto saat dihubungi, Senin (18/10/2021).

Baca juga: Rp 4,3 Triliun Dana APBN Akan Mengalir untuk Biayai Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Menurutnya, kereta cepat Jakarta-Bandung berbeda dibandingkan dengan proyek infrastruktur lain, karena memiliki karakteristik investasi jangka panjang.

Berita Rekomendasi

"Ini proyek infrastruktur, sehingga investasi bersifat jangka panjang."

Baca juga: Faisal Basri Sindir Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Ini Proyek Properti atau Proyek Kereta?

Toto mengatakan, agar tetap bisa bertahan dan bertumbuh ke depannya, maka perusahaan operator kereta cepat dapat menggenjot pendapatan sektor lain. 

"Caranya optimalisasi pendapatan bukan saja dari kereta penumpang (fare box), namun juga revenue dari pengelolaan property (TOD) dan juga media luar ruang,” ujarnya.

Baca juga: Faisal Basri: Investasi Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Sampai Kiamat Tidak Balik Modal

Alasan pandemi Covid-19 yang digunakan pemerintah untuk melibatkan APBN dalam proyek ini dinilainya cukup masuk akal. Alasannya, pandemi Covid-19 memiliki dampak yang sangat besar di seluruh sektor, termasuk infrastruktur.

"Proyek ini sudah kita mulai pada 2015 sampai kemudian 2019, lalu masuk juga di awal 2020 sampai Covid-19 melanda. Maka perlu adanya penyesuaian-penyesuaian yang mungkin terjadinya cost overrun," ujarnya.

Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dijalankan sejak 2016 setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan groundbreaking proyek tersebut, serta pengembangan Sentra Ekonomi Koridor Jakarta-Bandung di Perkebunan Mandalawangi Maswati, Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat. 

Dalam perjalanannya, proyek ini mengalami berbagai kendala seperti pandemi Covid-19, tantangan geografis yang cukup berat di beberapa titik, masalah pembebasan lahan, hingga permasalahan pendanaan atau biaya yang membengkak dari hitungan awal. Biaya pun membengkak. 

Sementara itu,Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyoroti rencana pemerintah yang akan menyuntikkan modal ke proyek KCJB dari SILPA.

Menurutnya, masih banyak hal yang perlu untuk mendapat tambahan anggaran. Misalnya untuk perlindungan sosial di tengah pendemi Covid-19.

Dia menyebut, penggunaan SILPA tetap saja anggaran APBN. Apalagi sebagian dari SILPA diperoleh dari pembiayaan utang. Maka ini artinya pemerintah memberikan dana kepada proyek kereta cepat sumber nya dari utang.

Ujung nya, proyek dari business to business bisa berubah menjadi proyek yang sifatnya Government to Business dengan membebankan kepada pemerintah (APBN).

“Jadi ini langkah yang saya kira sudah jauh dari uji kelayakan, dimana proyeknya harusnya bisa dilakukan secara komersil tanpa melibatkan APBN sama sekali meskipun ini dana SILPA,” ucap Bhima dikutip Kontan.

Bhima meminta pemerintah memperhatikan sejumlah hal terkait KCJB. Pertama, pada waktu awal kereta cepat merupakan satu paket pembangunan wilayah.

Artinya secara paralel mau tidak mau untuk menunjang jumlah penumpang kereta cepat, maka wilayah yang dilewati kereta cepat itu juga harus dibangun.

Kedua, sebelum melakukan penambahan modal secara langsung dari APBN, sebaiknya dioptimalkan terlebih dahulu sindikasi bank BUMN ataupun sumber dana dari internal BUMN lainnya.

“Misalnya BUMN konstruksi bisa jadi kalau wilayah kota ada pembangunan lainnya di sekitar wilayah Jakarta – bandung kereta cepat, bisa juga BUMN di sektor industri."

Sehingga ada agregasi pembangunan nya bukan hanya untuk investasi kereta cepat, tapi juga wilayah sekitarnya, mungkin banyak BUMN yang akan tertarik.

Ketiga, jika secara pembiayaan jangka panjang belum juga bisa menutup biaya investasi yang membengkak, maka dinilai perlu untuk menghentikan proyek kereta cepat.

“Nanti aset yang sudah ada, dialihkan untuk kepentingan proyek lainnya yang lebih profitabilitas nya tinggi, dan lebih feasible secara kelayakan,” tutur Bhima.

Sebelumnya, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT KAI (Persero) Salusra Wijaya mengatakan, kebutuhan investasi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) membengkak atau mengalami cost overrun (kelebihan biaya) menjadi US$ 8 miliar atau setara Rp 114,24 triliun.

Biaya awal pembangunan KCJB adalah US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,5 triliun. Dengan adanya perkiraan pembengkakan anggaran mencapai US$ 8 miliar, berarti terdapat kenaikan sekitar US$ 1,9 miliar dolar atau setara Rp 27,09 triliun.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas