Harga PCR di Bali Mendadak Melambung Hingga Rp 1,9 Juta, YLKI: Harga Dipermainkan Demi Cuan
Namun para calon penumpang yang hari Minggu kemarin akan mengakhiri liburan di Bali harus lama antre tes PCR.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Hari pertama pelaksanaan edaran penumpang pesawat wajib tes PCR, Minggu (24/10/2021) ternyata membuat masalah baru bari para calon penumpang pesawat.
Permasalahan terjadi di Bali, tempat wisata yang sudah mulai dikunjungi oleh para wisatawan domestik.
Namun para calon penumpang yang hari Minggu kemarin akan mengakhiri liburan di Bali harus lama antre tes PCR.
Baca juga: Berikut Harga Tes Swab PCR Terbaru di Wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya
Mereka kebingungan karena banyak yang tidak dapat kuota PCR akibat yang mengantre membeludak terlalu banyak.
Bayu Rizki, salah seorang penumpang pesawat terbang yang hendak kembali ke Jakarta usai liburan di Bali menyebut hampir semua lokasi tes PCR di Pulau Dewata overload.
Ia bercerita,d irinya sempat mencari tes PCR di daerah Sunset Road, Kuta. Namun dirinya tidak beruntung karena kuota sudah melebihi batas alias overload.
Begitu juga di beberapa rumah sakit swasta di kota Denpasar, semuanya penuh.
"Overload semua ini," kata Bayu saat berbincang dengan Tribun, Minggu (24/10/2021).
Bayu mengaku belum bisa menjalani tes PCR dan saat ini mengaku sedang mencari lokasi tes PCR di kawasan Jalan Bypass Kuta.
Baca juga: Jadi Syarat Perjalanan Penumpang Pesawat, Ini Rincian Harga Tes PCR di Jabodetabek
Kabarnya ada salah satu telemedicine ternama membuka gerai tes PCR di lokasi tersebut. "Semoga bisa," ujar Bayu.
Menurut Bayu, sebenarnya masih ada layanan tes PCR yang hasilnya bisa didapat dalam waktu hanya 4 jam, akan tetapi harganya selangit.
"Yang express harganya Rp 1,9 juta. Yang biasa H plus 2 baru keluar hasilnya, nah yang ini overload," kata dia.
Dia sangat menyayangkan adanya praktik komersialisasi test PCR tersebut.
Apalagi dengan menawarkan harga yang dirasa cukup menguras kantong.
"Parah ini kondisinya. Semuanya mau cari duit," kata dia.
Nyaris Gagal Terbang
Sementara itu Inneke Lady, penumpang pesawat transit dari Alor menuju Surabaya, nyaris gagal terbang di Bandara El Tari Kupang gara-gara hanya memiliki bebas Antigen.
Inneke warga Jakarta tersebut menceritakan, hari Minggu kemarin saat dia pulang tugas kantor dari Alor dan mesti transit ke El Tari sempat tertahan oleh petugas maskapai.
Sang petugas ngotot ia harus memiliki keterangan tes PCR, padahal untuk melakukannya di Kupang butuh waktu yang tidak cepat.
"Posisi saya transit dari Alor, sedangkan di Alor tidak ada layanan PCR hanya antigen. Masa sampai di Kupang harus tes PCR, padahal jeda waktu melanjutkan perjalanan hanya beberapa jam," ujar Inneke kepada Tribunnews.com, Senin (25/10/2021).
Menurutnya, kalau posisi hanya transit hanya lapor ke petugas check ini untuk mencetak boarding pass.
Sempat berdebat dengan petugas, dia akhirnya diperbolehkan masuk pesawat.
YLKI Duga Ada Mafia
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) membeberkan dugaan mafia pengadaan tes PCR memainkan harga demi mengejar keuntungan atau cuan.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, Harga Eceran Tertinggi (HET) PCR di lapangan banyak diakali oleh provider dengan istilah "PCR Ekspress".
"Harganya 3 kali lipat dibanding PCR normal. Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1x24 jam," ujarnya melalui siaran pers, ditulis Minggu (24/10/2021).
Tulus menilai, sebaiknya kebijakan tersebut dibatalkan atau minimal direvisi, misalnya waktu pemberlakukan PCR menjadi 3x24 jam.
Baca juga: Ini Daftar Harga Tes PCR Sebagai Persyaratan Wajib Naik Pesawat Terbang
Mengingat di daerah, lab PCR tidak semua bisa cepat atau cukup antigen saja, tapi dengan persyaratan harus sudah vaksin 2 kali.
"Selain itu, turunkan HET PCR menjadi kisaran Rp 200 ribuan. Jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya, ada pihak pihak tertentu diuntungkan," kata Tulus.
Dia menambahkan, kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat adalah kebijakan diskriminatif karena memberatkan dan menyulitkan konsumen.
"Diskriminatif karena sektor transportasi lain hanya menggunakan antigen. Bahkan tidak pakai apapun," pungkasnya. (Willy Widiyanto/Yanuar Riezky Yovanda)