Dituding Sekarga, Dirut Garuda Bersama Anak dan Cucu Liburan ke New York Pakai Fasilitas Perusahaan
Saat ancaman kebangkrutan mengintai PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, kini direktur utamanya dipermasalahkan serikat karyawannya sendiri.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Saat ancaman kebangkrutan mengintai PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, kini direktur utamanya dipermasalahkan serikat karyawannya sendiri.
Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra dilaporkan Serikat Pekerja Garuda (Sekarga) ke Menteri BUMN Erick Thohir.
Bos Garuda ini dituduh telah menggunakan fasilitas kantor untuk mengajak keluarganya saat menghadiri forum resmi sembari menikmati liburan.
Dikutip dari Kompas.com, Awalnya, Sekarga mendapat informasi adanya penerbitan Kartu Member Garuda Indonesia yaitu GA Miles Platinum VIP terhadap 4 orang keluarga Dirut Garuda yakni anak, menantu, dan cucu.
Baca juga: Dirut Garuda Irfan Setiaputra Dilaporkan Sekarga ke Menteri BUMN, Ini Tanggapan Manajemen
Mengetahui hal itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Sekarga Dwi Yulianta lalu membuat surat permohonan kepada Menteri BUMN Erick Thohir untuk menginvestigasi.
"Mengingat pentingnya good corporate governance (GCG) dan core value AKHLAK Kementerian BUMN dan terkait hal tersebut di atas sudah menjadi polemik serta banyaknya pertanyaan-pertanyaan dari pihak karyawan yang disampaikan kepada kami sebagai pengurus Serikat Pekerja, maka kami memohon kiranya Bapak Menteri BUMN dapat membentuk tim investigasi," tulis Dwi dalam suratnya seperti dikutip dari Kompas TV, Rabu (27/10/2021).
Pengakuan Dirut Garuda Lebih lanjut, surat ini dibuat guna menyikapi pengakuan Direktur Utama Garuda Indonesia yang disampaikan pada saat sharing session bersama karyawan pada Senin, 25 Oktober 2021 pukul 11.00 hingga selesai terkait kehadirannya pada Undangan Pertemuan IATA yang dilaksanakan tanggal 3-5 Oktober 2021.
Baca juga: Diisukan Akan Gantikan Garuda, Pelita Air Service Kantongi Izin Terbang Berjadwal, Simak Profilnya
Pada pertemuan tersebut, Irfan Setiaputra disebut berangkat bersama keluarga (istri, anak, menantu dan 2 orang cucu) menggunakan rute penerbangan semula Jakarta - New York via Amsterdam tanggal 30 September 2021 dengan nomor penerbangan GA088.
Tiket tersebut kemudian diubah menjadi Jakarta - New York via Incheon/Seoul tanggal 30 September 2021 dengan nomor penerbangan GA878 menggunakan fasilitas kelas bisnis.
Irfan Setiaputra dan keluarga kembali pada tanggal 16 Oktober 2021 dengan rute Amsterdam - Jakarta dengan GA089 menggunakan fasilitas kelas bisnis.
"Kami berpendapat seharusnya seorang Dirut lebih memprioritaskan perhatiannya terhadap kondisi Garuda Indonesia saat ini, karena undangan tersebut biasanya didelegasikan kepada salah satu manager, senior manager, atau vice president oleh direktur utama sebelumnya," ucap Dwi dalam surat.
Baca juga: Rekam Jejak Pelita Air, Maskapai Pengganti Jika Garuda Ditutup, Lengkap dengan Profilnya
Sekarga juga mengaku sangat prihatin, ternyata selain menghadiri undangan tersebut dari tanggal 3-5 Oktober, Direktur Utama mengakui bahwa yang bersangkutan lanjut berlibur bersama keluarga dan baru kembali ke Jakarta pada 16 Oktober 2021.
Opsi pailit
Pengamat penerbangan MS Hendrowijono mengatakan langkah tersebut yang kemungkinan besar ditempuh oleh pemerintah.
Ia mengatakan, kasus yangg mirip-mirip juga terjadi di beberapa negara. Misalnya di Italia, Alitalia yang bangkrut karena pandemi membuat maskapai baru ITA Airways.
Nah kalau Garuda dianggap lebih baik diganti perusahaan lama yaitu Pelita Air.
"Saya bilang sudah 85 persen arahnya ke Pelita," kata Hendro kepada Tribunnews.com.
Maskapai milik PT Pertamina tersebut dianggap yang paling tepat menjadi pengganti Garuda daripada membuat maskapai baru yang butuh waktu lama.
Pelita Air telah lama beroperasi dan infrastrukturnya telah lengkap sehingga dianggap mumpuni.
"Pelita sudah memiliki banyak pesawat bahkan punya helikopter, jadi mudah dibesarkan menjadi maskapai domestik dengan layanan yang baik," kata Hendro kepada Tribunnews.com belum lama ini.
Kenapa tidak diganti dengan Citilink yang notabene adalah anak usaha Garuda, Hendro mengatakan, secara bisnis kalau diganti Citilink maka segala kewajiban Garuda akan dibebankan ke Citilink, jadi justru akan menambah masalah baru.
"Kalau pailit, Citilink dan anak perusahaan yang lain tetap bisa beroperasi sepert biasa tanpa ada pengalihan beban dari Garuda," ujarnya.
Mesk demikian opsi pailit tersebut harus mempertimbangkan hak-hak karyawan. Menurutnya paling utama adalah karyawan harus mendapatkan pesangon yang sesuai.
Pemerintah saat ini sedang mempertimbangkan opsi pailit Garuda dan digantikan dengan maskapai Pelita Air Service.
Kesalahan manajemen masa lalu Garuda membuat utang yang menggunung hingga Rp 140 triliun dengan utang yang telah jatuh tempo sebesar Rp 70 triliun.
Karenanya tak heran maskapai tersebut digugat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Setelah menang dari gugatan PKPU My Indo Airlines, Garuda kembali digugat oleh perusahaan kreditor lainnya yaitu Mitra Buana Koorporindo.
Opsi Pelita gantikan Garuda
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membenarkan rencana untuk menyiapkan PT Pelita Air Service (PAS) sebagai maskapai berjadwal nasional menggantikan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk atau GIAA.
Persiapan Pelita Air sebagai maskapai berjadwal ini untuk mengantisipasi apabila restrukturisasi dan negosiasi yang sedang dijalani oleh Garuda tak berjalan mulus.
"Kalau mentok ya kita tutup (Garuda), tidak mungkin kita berikan penyertaan modal negara karena nilai utangnya terlalu besar,’" kata Wakil Menteri BUMN II Kartiko Wirjoatmodjo dilansir dari Antara.
Menurut Tiko, panggilannya, progres negosiasi dan restrukturisasi utang Garuda Indonesia dilakukan dengan seluruh lender, lessor pesawat, hingga pemegang sukuk global, melibatkan tiga konsultan yang ditunjuk Kementerian Negara BUMN.
Meskipun demikian, negosiasi dengan kreditur dan lessor masih alot dan membutuhkan waktu yang panjang. Salah satu alasannya, pesawat yang digunakan Garuda Indonesia dimiliki puluhan lessor.
Tiko juga menilai opsi penutupan Garuda Indonesia tetap terbuka meski berstatus sebagai maskapai flag carrier. Alasannya, saat ini sudah lazim sebuah negara tidak memiliki maskapai yang melayani penerbangan internasional.
Dia pun beralasan meskipun Garuda Indonesia bisa diselamatkan, nyaris mustahil Garuda Indonesia bisa melayani lagi penerbangan jarak jauh, misalnya ke Eropa.
Oleh karena itu, untuk melayani penerbangan internasional, maskapai asing akan digandeng sebagai partner maskapai domestik. (Tribunnews.com/Kompas.com/Muhammad Idris)