Soal Fatwa MUI, Indodax: di Indonesia, Kripto Memang Bukan Sebagai Mata Uang
CEO Indodax Oscar Darmawan mengatakan, dalam peraturan Bank Indonesia sebelumnya, aset kripto memang bukan untuk dijadikan mata uang.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Startup teknologi finansial bidang aset kripto dan blockchain, Indodax merespon terkait fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait penggunaan kripto.
CEO Indodax Oscar Darmawan mengatakan, dalam peraturan Bank Indonesia sebelumnya, aset kripto memang bukan untuk dijadikan mata uang.
"Ini juga sama seperti hasil musyawarah MUI yang mengharamkan kripto sebagai mata uang, karena di Indonesia hanya rupiah mata uang yang diakui," kata Oscar, Jumat (12/11/2021).
"Di Indodax sendiri kami memperdagangkan banyak jenis aset kripto, bahkan volume perdagangan terbesar di Indodax datang dari aset kripto yang punya underlying aset fisik," sambung Oscar.
Perihal underlying aset dari aset kripto itu sendiri, kata Oscar, sebenarnya hampir semua aset kripto memiliki underlying asetnya tersendiri yang mungkin belum pernah dijelaskan sebelumnya.
“Ada yang underlyingnya mudah dipahami dalam aset fisik seperti USDT, LGold, LSILVER, XSGD tapi ada juga yang underlyingnya berupa biaya penerbitannya seperti Bitcoin," paparnya.
Baca juga: MUI Haramkan Mata Uang Kripto, Pintu: Kami Hormati Perbedaan Pandangan
Menurutnya, Bitcoin memiliki underlying berupa biaya penambangan Bitcoin untuk proses verifikasi dan penerbitan Bitcoin yang membutuhkan biaya listrik sebesar 150 TeraWatt per jamnya.
"Cuma memang bentuknya murni digital, ya namanya ini inovasi teknologi. Sekarang uang aja sudah tidak ada bentuk fisiknya cuma digital seperti emoney. Jadi karena ada biaya produksinya, Bitcoin tidak muncul begitu saja makanya jangan heran kalau bitcoin harganya naik terus," ujar Oscar.
Lebih lanjut Oscar mengatakan, Indodax saat ini mempunyai lebih dari 4,5 juta member, di mana 99 persen merupakan penduduk Indonesia yang hidup dari trading aset kripto
"Banyak orang yang tidak ada lapangan pekerjaan, sekarang hidup dari trading aset kripto, dan di Indodax ada 170 jenis aset kripto. Jadi jenisnya banyak, tinggal trader pilih saja mau trading aset kripto yang mana," ucapnya.
"Menurut saya pribadi sebenarnya hampir semua aset kripto ada underlyingnya kalau dipelajari secara teknologi dan manfaat. Namun itu semua dikembalikan kepada sudut pandang masing masing trader," tambah Oscar.
Baca juga: Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII Bahas Pinjol, Nikah Online dan Uang Kripto
Sebelumnya, Forum Ijtima Ulama MUI mengeluarkan fatwa bahwa mata uang kripto atau cryptocurrency haram.
Keputusan tersebut direkomendasikan dalam forum Ijtima Ulama yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta sejak Selasa (9/11/2021) hingga Kamis (11/11/2021).
Topik mengenai mata uang kripto dibahas pada Komisi Fikih Kontemporer di Forum Ijtima Ulama.
"Terkait hukum cryptocurrency dari musyawarah yang sudah ditetapkan ada tiga diktum hukum. Penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram, karena mengandung gharar, dharar dan bertentangan dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia nomor 17 tahun 2015," ujar Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (11/11/2021).
Baca juga: Bursa Perdagangan Kripto Dinilai Tingkatkan Kepercayaan Investor
Selain itu, Asrorun mengungkapkan cryptocurrency sebagai komoditi atau aset digital tidak sah diperjualbelikan karena mengandung gharar, dharar, qimar dan tidak memenuhi syarat sil'ah secara syar’i.
Syarat sil'ah secara syar’i, kata Asrorun, mencakup keberadaan wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan bisa diserahkan ke pembeli.
"Cryptocurrency sebagai komoditi/aset yang memenuhi syarat sebagai sil'ah dan memiliki underlying serta memiliki manfaat yang jelas sah untuk diperjualbelikan," kata Asrorun.
Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia merupakan kegiatan permusyawaratan lembaga fatwa se-Indonesia, yang diikuti 700 ulama fatwa, tidak hanya dari Komisi Fatwa MUI.
Namun juga diikuti oleh pimpinan lembaga fatwa ormas Islam tingkat pusat dan juga pimpinan pondok pesantren serta pimpinan fakultas Syariah perguruan tinggi agama Islam.