Pemerintah Diminta Melakukan Perubahan Regulasi Vape
Salah satu produk HPTL yang penyerapan dan pertumbuhan konsumennya dalam satu dekade terakhir ini cukup pesat adalah Vape.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perlahan tapi pasti produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) seperti rokok elektrik atau vape, tembakau dipanaskan maupun tembakau kunyah, terus membanjiri pasar dalam negeri.
Kehadiran produk-produk ini kian diterima dan disukai masyarakat konsumen tanah air.
Salah satu produk HPTL yang penyerapan dan pertumbuhan konsumennya dalam satu dekade terakhir ini cukup pesat adalah Vape.
Jumlah peminat dan konsumen produk ini mencapai 2,2 juta pengguna.
Meningkatnya permintaan produk HPTL jenis Vape berdampak positif kepada pembukaan lapangan pekerjaan yang dapat menyerap hingga 50 ribu tenaga kerja.
Salah satu inovasi terkini yang dilakukan produsen Vape RELX Indonesia adalah dengan membuat atau mengeluarkan varian vape dengan sistem tertutup (closed system).
Baca juga: Sistem Tarif Cukai untuk Produk Vape Dinilai Masih Ada Ketimpangan
Varian ini menyatukan likuid, cartridge, dan coil dalam satu unit dan diproduksi oleh masing-masing pemilik merek, sehingga tidak dapat diutak-atik oleh pengguna sesuka hatinya.
“Vape sistem tertutup atau closed system menggunakan cairan nikotin (e-liquid) yang sudah dikemas yang dapat digunakan dengan perangkat vaping namun tidak dapat diisi ulang sehingga lebih aman dan tidak terkontaminasi dengan material lain di luar cairan yang diisi dari pabrik,” papar General Manager RELX Indonesia, Yudhistira Saputra.
Kebijakan cukai belum sejalan
Sebagaimana bentuk atau jenis tembakau lainnya, produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) seperti Vape ini juga telah diatur pengenaan cukainya oleh pemerintah dalam hal ini pihak Kementrian Keuangan.
Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.198/PMK.010/2020 pemerintah mengenakan cukai dengan sistem ad valorem atau tarif yang dibebankan dalam bentuk persentase dari sebuah harga barang pada seluruh produk HPTL.
Menurut Yudhistira, cukai untuk industri vape sistem tertutup bukan di ad valorem tetapi lebih ke pengkategorian sistem tertutup di dalam bentuk cartridge di mana jumlah maksimum cairan yang bisa diisi per cartridge adalah 2ml tetapi harga jual eceran (HJE) minimum adalah Rp 30.000 per cartridge.
Dimana jika dibandingkan dengan sistem terbuka HJE minimum per ml adalah Rp 666.
Jika kita bandingkan HJE untuk jumlah yang sama maka sistem tertutup akan membayar cukai sebesar 23 kali lipat dibandingkan dengan sistem terbuka.
“Sistem cukai yang ada saat ini seharusnya disetarakan dengan sistem terbuka karena prinsip dari vape adalah sama-sama cairan nikotin. Hanya packaging-nya yang berbeda,” ujar Yudhistira.
Sementara, apabila kita mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 2007 tentang cukai, tercantum secara jelas cukai dikenakan terhadap hasil tembakau, dan bukan kemasannya.
Sehingga penerapan tarif terhadap vape saat ini dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang.
Saat ini pengakuan pemerintah terhadap jenis rokok vape tertuang dalam PMK No.198/PMK.010/2020. Bentuk pengakuan lainnya terdapat dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang beberapa bulan lalu telah disahkan DPR RI bersama pemerintah melalui menteri keuangan.
Pengakuan pemerintah lewat PMK dan UU HPP tersebut terhadap produk jenis vape mendapatkan apresiasi dari para pelaku industri atau produsen HPTL khususnya vape.
Yudhistira berharap, setelah pemerintah mengakui adanya produk HPTL jenis vape, lewat PMK dan produk UU, pemerintah juga dapat memberikan pengaturan cukai yang berimbang dan adil terhadap HPTL jenis vape closed system.
Sebab, aturan cukai yang berimbang dan berkeadilan memegang peranan penting untuk mendukung perdagangan yang sah di industri.
Sehingga vape closed system juga dapat bersaing dengan produk produk tembakau lainnya di pasaran tanpa harus dibebani dengan pajak atau cukai yang jauh lebih tinggi dibandingkan produk vape lainnya
“Tarif cukai yang terlalu tinggi untuk Sistem Tertutup telah menyebabkan peningkatan aktivitas perdagangan gelap produk Sistem Tertutup. Hal ini berimplikasi pada hilangnya pendapatan negara, produk yang tidak diatur di pasar, gangguan harga pasar untuk industri, serta potensi risiko kesehatan yang signifikan bagi pengguna,” jelas Yudhistira (*)