YLKI Minta Pemerintah Larang Penjualan Rokok Secara Ketengan
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemerintah menaikkan cukai rokok secara signifikan dan dibarengi pengaturan penjualannya
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemerintah menaikkan cukai rokok secara signifikan dan dibarengi pengaturan penjualannya, tidak boleh diketeng atau dijual satuan.
"Dari sisi marketing banyak masalah, karena pada akhirnya walaupun ada kenaikan cukai tahun depan dari sisi ritel masih sangat murah," kata Ketua Harian YLKI Tulus Abadi secara virtual, Selasa (14/12/2021).
Menurut Tulus, saat ini penjualan rokok di Indonesia dapat beli secara satuan layaknya membeli permen, dan hal ini menjadi satu-satunya negara yang membolehkan penjualan rokok secara ketengan.
"Jadi kita desak pemerintah agar melarang penjualan rokok ketengan, sehingga kenaikan cukai rokok jadi efektif ke konsumen dengan larangan ketengan," papar Tulus.
Baca juga: Menkeu Sebut Jokowi Setujui Kenaikan Cukai Rokok pada 2022, Ini Besarannya
"Rokok ketengan itu, anak-anak dan remaja, serta masyarakat menengah ke bawah bisa membelinya. Jadi ini paradok di dalam kenaikan cukai ini," sambung Tulus.
Ia mencontohkan, harga rokok di Selandia Baru sudah mencapai Rp 286 ribu per bungkus, dan saat ini di Indonesia harganya jauh lebih murah, serta mudah didapatkan semua kalangan.
"Di kita sangat murah, jadi pantas konsumsi rokok masih sangat tinggi di Indonesia karena akses dapatkannya sangat mudah dan murah," ujarnya.
Baca juga: APVI Kritik Langkah Pemerintah Naikkan Tarif Cukai Vape
Cuma Untuk Pendapatan Negara
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kenaikan cukai rokok rata-rata 12 persen pada 2022, hanya untuk memenuhi kepentingan ekonomi pemerintah dalam menggenjot penerimaan negara.
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, cukai rokok dinaikkan menjadi 12 persen itu belum efektif melindungi konsumen agar tidak semakin besar dalam mengonsumsi rokok.
Oleh karena itu, Tulus mempertanyakan tujuan keputusan pemerintah kenaikan cukai menjadi 12 persen, apakah demi ekonomi interest (kepentingan)? Atau perlindungan konsumen maupun pengendalian tembakau.
"Saya melihat ini lebih ke ekonomi interest, artinya kenaikan cukai itu untuk penggalian pendapatan pemerintah. Apalagi, pendapatan pajak masih minim, sehingga pemerintah menggali dari sisi cukai," kata Tulus secara virtual, Selasa (14/12/2021).
Menurut Tulus, seharusnya pemerintah menaikkan cukai rokok secara tinggi, di mana utamanya yaitu pengendalian tembakau daripada mengedepankan pendapatan negara.
"Harus lebih dominan instrumen pengendalian ini, kepentingan perlindungan konsumen harus lebih besar," ucap Tulus.
Baca juga: 1 Januari 2022 Harga Rokok Bisa Mencapai Rp 40 Ribu Per Bungkus, Imbas Naiknya Cukai Hasil Tembakau
Besaran Kenaikan
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif rata-rata cukai rokok sebesar 12 persen mulai 2022.
Menurut Sri Mulyani, keputusan tersebut berdasarkan hasil rapat dengan Presiden Joko Widodo.
"Hari ini, Bapak Presiden telah menyetujui dan sudah dilakukan rapat koordinasi di bawah Bapak Menko Perekonomian. Kenaikan Cukai rokok adalah 12 persen, tapi untuk SKT yaitu sigaret kretek tangan, Bapak Presiden meminta kenaikan maksimal 4,5 persen, jadi kita menetapkan 4,5 persen maksimal," ujarnya saat konferensi pers, Senin (13/12/2021).
Sedangkan, kenaikan tarif rata-rata Cukai, Presiden Joko Widodo memberikan arahan antara 10 persen hingga 12,5 persen.
Baca juga: Cukai Rokok Kembali Naik 12% Per 1 Januari 202, Ini Penjelasannya
"Kita menetapkan di 12 persen. Nanti akan berlaku di 2022 dengan kenaikan rata-rata 12 persen," kata Sri Mulyani.
Lebih rinci, dia menjelaskan, untuk SKT jenis IA, IB, II dan III, masing-masing kenaikannya adalah 3,5 persen, 4,5 persen, 2,5 persen, dan 4,5 persen.
Sementara untuk SKM jenis kategori I kenaikannya 13,9 persen, SKM II A 12,1 persen, dan SKM IIB 14,3 persen. Lalu, SPM I 13,9 persen, SPM IIA 12,4 persen, dan SPM IIB 14,4 persen.
"Jadi, terjadi perbedaan kenaikan cukup tinggi antara dengan mesin dan menggunakan tangan," pungkas Sri Mulyani.