Harga Minyak Mentah Indonesia Terancam Melonjak Imbas Perang Rusia-Ukraina
Invasi militer Rusia ke Ukraina menyebabkan harga minyak mentah dunia melambung tinggi.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEW.COM, JAKARTA - Invasi militer Rusia ke Ukraina menyebabkan harga minyak mentah dunia melambung tinggi.
Harga minyak mentah Brent naik 2,24 dolar AS atau 2,3 persen menjadi 99,08 dolar AS per barel setelah menyentuh level tertinggi 105,79 dolar AS.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi menuturkan Indonesia Crude Price (ICP) atau harga minyak mentah Indonesia terancam melonjak.
Baca juga: Serangan Senyap Peretas Rusia Hujani Ukraina di Hari Invasi
Ia mencatat ICP sudah naik empat kali lipat sejak awal pandemi hingga mencapai 85,9 dolar AS per barel per Januari 2022.
Menurutnya, harga tersebut telah melewati asumsi ICP dalam APBN 2022 yang hanya sebesar 63 dolar AS per barel.
Konflik Rusia dengan Ukraina berpotensi membuat ICP akan kembali naik.
"Kondisi ini semakin membuat tren harga minyak yang sudah meningkat akan semakin meningkat," jelas Agung kepada wartawan, Jumat (25/2/2022).
Ia menjelaskan kenaikan harga minyak menjadi perhatian pemerintah.
Terlebih sebagian minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) Indonesia masih dilakukan secara impor.
"Kami terus monitor dan perlu menjadi perhatian semua pihak," jelas Agung.
Dalam catatan Kementerian ESDM selama enam bulan terakhir ICP menunjukkan tren kenaikan.
Mulai pada Agustus 2021 harga minyak sebesar 67,8 dolar AS barel dan terus meningkat tiap bulannya hingga Januari 2022.
"Jika dilihat lebih jauh, kenaikan mulai terjadi pasca ICP rendah pada April 2020 sekitar 20 dolar AS per barel," kata Agung.
Baca juga: Balas Dendam, Rusia Larang Semua Penerbangan Inggris di Wilayahnya
"Berlanjut 72,2 dolar AS per barel September 2021, 81,8 dolar AS per barel Oktober 2021, 80,1 dolar AS per barel November 2021, 73,4 dolar AS per barel Desember 2021, dan pada Januari 2022 sebesar 85,9 dolar AS per barel," tambahnya.
Sementara Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai harga BBM mesti naik apabila tidak ingin ada dampak terhadap keuangan PT Pertamina (Persero).
"Kalau harga BBM tidak dinaikkan, Pertamina harus menjual BBM di bawah harga keekonomian, yang berpotensi menanggung beban kerugian," ujarnya.
Dia menjelaskan, beban kerugian Pertamina tersebut diganti oleh pemerintah dalam bentuk dana kompensasi.
"Kenaikan harga minyak dunia tidak begitu berdampak terhadap Pertamina, tetapi akan memperberat beban APBN," katanya.
Untuk mengurangi beban APBN, pemerintah disarankan harus memutuskan kebijakan terhadap harga BBM di antaranya yakni menaikkan harga Pertamax sesuai harga pasar.
Pemerintah juga mesti menghapus Premium yang subsidinya tinggi dan tidak menaikkan harga Pertalite dengan mengalihkan subsidi Premium.
Menurut Fahmy, kenaikan harga Pertalite akan punya dampak domino menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli rakyat.
Itu akibat jumlah konsumen BBM jenis ini terbesar dengan porsi mencapai 63 persen.
"Selain itu, pemerintah perlu membuat penyesuaian ICP (Indonesia crude price) secara proporsional yang disesuaikan dengan perkembangan harga minyak dunia," pungkasnya.