Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Mengenal Aspadin, Asosiasi yang Tolak Wacana Pelabelan BPA pada AMDK

Draft revisi Peraturan BPOM tentang Label Pangan Olahan yang mencantumkan pasal pelabelan potensi bahaya Bisfenol-A pada AMDK masih jadi kontroversi.

Editor: Choirul Arifin
zoom-in Mengenal Aspadin, Asosiasi yang Tolak Wacana Pelabelan BPA pada AMDK
Shutterstock
Ilustrasi air minum galon guna ulang. 

TRIBUNNEWS.COM - Draft revisi Peraturan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) tentang Label Pangan Olahan yang mencantumkan pasal pelabelan potensi bahaya Bisfenol-A (BPA) pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dan Galon Guna Ulang (GGU) masih menuai pro dan kontra.

Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) adalah salah satu asosiasi dunia usaha yang menolak keras isi draft tersebut.

Mereka menilai, rencana pelabelan risiko BPA pada air minum kemasan akan berdampak pada matinya industri AMDK.

“Galon isi ulang sudah digunakan hampir 40 tahun, tidak saja oleh rumah tangga di perkotaan tetapi juga di sub-urban, termasuk di institusi pemerintah, rumah sakit, kantor dan lainnya,” ujar Ketua Umum Aspadin Rachmat Hidayat.

Lantas sebenarnya siapa Aspadin, dan mengapa organisasi ini sangat concern mengenai isu terkait AMDK?

Mengenal Aspadin dan sepak terjangnya dalam dunia AMDK

Melansir dari situs resmi aspadin.com, Direktur Jenderal Aneka Industri (Dirjen. AI) Departemen Perindustrian Republik Indonesia (DEPERIN) Ir Susanto Sahardjo dan Direktur Industri Pangan Ir. J A Radjagukguk pada pertengahan Agustus 1991 mengundang serta menghimbau tiga perusahaan yang bergerak dalam industri AMDK untuk segera membentuk asosiasi.

Baca juga: Penolakan Industri AMDK Pelabelan BPA-Free pada Galon Air dan Temuan BPOM

Berita Rekomendasi

Ketiganya, adalah PT AQUA Golden Mississippi (PT AGM merk AQUA), PT Santa Rosa Indonesia (PT SRI merk OASIS), dan terakhir, PT Varia Industri Tirta (PT VIT), masih satu grup dengen Aqua.

Ketiga perusahaan tersebut menyambut baik usulan tersebut dan menyadari saat itu sudah waktunya membentuk asosiasi guna membina kerjasama, sebagai saran komunikasi, wadah memecahkan masalah serta melindung konsumen dan produsen, hingga menjadi mitra bagi pemerintah terkait industri AMDK.

Baca juga: Paparan BPA Galon Air Berbahaya bagi Kesehatan, Pelabelan Kemasan Dinilai Penting

Setelah mengadakan tiga kali pertemuan, Aspadin resmi terbentuk dan tanggal 2 Oktober 1991 ditetapkan sebagi tanggal berdirinya asosiasi AMDK ini.

Saat ini, asosiasi yang diketuai Rachmat Hidayat ini terdiri dari Dewan Pengurus Pusat (DPP) dan dibantu oleh 13 Dewan Pengurus Daerah (DPD), serta berkontribusi dalam hal regulasi dan peraturan terkait AMDK, seperti dampak RUU SDA terhadap Industri Air Kemasan, Peraturan Kemenperin terkait pemberlakuan SNI pada air mineral, hingga yang terbaru pelabelan potensi bahaya BPA pada AMDK dan GGU.

Baca juga: Pakar Kebijakan Publik Minta BPOM Fair Terkait Pelabelan BPA Free Galon Guna Ulang

Alasan Aspadin menolak pelabelan BPA pada AMDK

Dikutip dari Kompas.com, Rachmat mengungkapkan, dilihat dari aspek kesehatan dan keamanan pangan, semua produk pangan olahan termasuk AMDK dan GGU sudah memenuhi persyaratan perundang-undangan.

“Aspadin memohon agar BPOM berkenan untuk tidak melanjutkan pembahasan Rancangan Peraturan Pelabelan Kemasan (ReperBPOM) AMDK GGU karena semua produk pangan olahan termasuk AMDK GGU yang diizinkan beredar sudah dipastikan memenuhi semua persyaratan di dalam perundang-undangan sehingga aman dikonsumsi masyarakat,” kata Rachmat, Jumat (25/2/2022).

Dalam webinar bertajuk “Kebijakan Pemerintah & Jaminan Perlindungan Keamanan Kemasan Galon Guna Ulang”, Rachmat Hidayat turut menjelaskan bahwa industri AMDK sudah masuk di Indonesia sejak 1973.

Kemudian, kemasan GGU, tambah Rahmat, sudah diperkenalkan sejak 1984 dan merupakan kemasan yang masih digunakan hingga saat ini karena sifatnya yang ramah lingkungan.

Dengan perubahan peraturan itu, Rahmat khawatir GGU tak lagi menjadi pilihan konsumen, dan industri menuntut mengganti kemasan polikarbonat, yang mengandung BPA.

Latar belakang revisi Peraturan BPOM terkait pelabelan BPA

Bukan tanpa alasan BPOM merevisi peraturannya terkait pelabelan BPA pada AMDK.
BPOM sebelumnya memang telah menetapkan peraturan yang mengatur persyaratan keamanan pangan termasuk batas maksimal migrasi BPA melalui Peraturan Nomor 20 tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, yaitu maksimal 0,6 bpj (600 mikrogram/gram) dari kemasan PC (polycarbonate).

Berkaitan dengan hal itu pula, BPOM secara rutin mengecek kepatuhan industri AMDK atas batas migrasi BPA.

Namun berdasarkan data hasil uji post-market 2021-2022 dengan sampel yang diambil dari seluruh Indonesia yang menemukan bahwa migrasi BPA (perpindahan BPA dari kemasan pangan ke dalam pangan) pada galon polikarbonat "menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan" dan telah mencapai ambang batas berbahaya.

Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang menjelaskan, hasil uji migrasi BPA menunjukkan sebanyak 33 persen sampel pada sarana distribusi dan peredaran, serta 24 persen sampel pada sarana produksi, berada pada rentang batas migrasi BPA 0,05 mg/kg yang ditetapkan Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA) dan 0,6 mg/kg berdasarkan ketentuan di Indonesia.

Ketua APSI dukung pelabelan BPA

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI) Saut Marpaung kepada Tribunnews dalam diwawancara melalui sambungan telepon Rabu (9/3/2022), mengungkapkan dukungannya terhadap wacana palabelan BPA pada AMDK.

Menurutnya masyarakat harus mengetahui potensi bahaya kandungan BPA pada AMDK.

"Kalau tidak di-banned, minimal diperingatkan ke warga ada zat berbahaya. Terutama untuk balita dan Ibu hamil ini sensitif," ujar Saut.

Menurutnya, pelabelan yang mirip dengan bungkus rokok tersebut juga sebaiknya dilakukan untuk galon dengan kandungan BPA maupun tidak.

"Seperti di rokok begitu, pemerintah diharapkan melabeli galon-galon mengandung BPA. Kalau yang tidak mengandung BPA, juga dilabeli bebas BPA," kata Saut.

Namun, tugas pemerintah mengatur galon mengandung BPA ini bisa menimbulkan dampak paranoid atau ketakutan di masyarakat untuk mengkonsumsi AMDK.

Dikhawatirkan, ada sebagian masyarakat jadi berpikir tidak lagi menggunakan AMDK dalam kebutuhan sehari-hari karena takut dengan label mengandung zat berbahaya.

Kendati demikian, sama halnya dengan rokok, Saut menilai nantinya masyarakat akan terbiasa dengan label yang berada di galon air minum

"Kita bicara seperti rokok, masyarakat tetap merokok walaupun ada label zat bahaya. Tergantung orangnya, tapi tanggung jawab pemerintah harus dilakukan," tutur dia.

Di sisi lain, dia menjelaskan, akan ada aspek bisnis yang harus dipertimbangkan jika nantinya pemerintah memberikan label galon dengan kandungan BPA maupun non BPA.

Perlu diketahui, kandungan BPA yang terdapat di galon dengan bahan dasar polyethylene carbonate (PEC) memiliki ciri bentuk yang tebal dan kuat.

Saut menambahkan, galon dengan bahan dasar polyethylene terephthalate dinilai aman karena cocok untuk makanan dan minuman.

Apalagi kemasan untuk makanan, minuman, dan obat-obatan memang tidak boleh sembarangan, karena bersentuhan langsung dengan organ tubuh manusia.

“Untuk BPA ini bisa dikatakan sebuah zat berbahaya, dengan mencampurkannya dalam plastik berbahan dasar PEC untuk membuat galon agar keras dan tahan lama. Artinya, kalau kebanting atau jatuh, tetap kuat galonnya. Menurut penelitian di Perancis, di negara Eropa Barat, di Amerika juga, BPA ini sudah di-banned atau dilarang," pungkasnya.

Kritik keras dari FMCG Insights

Terkait dengan data temuan BPOM ini, Koordinator Advokasi FMCG Insights, Willy Hanafi menyayangkan pernyataan pihak asosiasi yang menjamin keamanan mengonsumsi air minum galon guna ulang.

Menurutnya, sesuatu yang dulu dianggap aman, belum tentu saat ini sama sekali tidak berisiko.

Willy juga turut menyesalkan pihak asosiasi yang terlalu cepat menuding bahwa wacana pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang ini merupakan bagian dari kampanye hitam atau hoaks terhadap industri.

Padahal, tambah Willy, aturan pelabelan BPA bukan berarti melarang penggunaan galon guna ulang tetapi hanya melabelinya agar masyarakat sebagai konsumen mendapat informasi menyeluruh terhadap apa yang mereka konsumsi.

“Informasi yang benar dan pasti tentang suatu produk merupakan hak konsumen yang dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Jadi, jangan ditutupi atau dikurangi,” jelas Willy.

Sebagai informasi, dalam draft revisi yang diajukan, BPOM mengharuskan produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat untuk mencantumkan keterangan "Berpotensi Mengandung BPA".

Namun BPOM memberlakukan pengecualian bagi produsen yang mampu membuktikan sebaliknya via pengujian laboratorium terakreditasi atau laboratorium pemerintah.

Sementara untuk produsen AMDK yang menggunakan plastik selain polikarbonat, rancangan peraturan membolehkan untuk mencantumkan label "Bebas BPA".

Draft juga menyebut produsen AMDK punya waktu tiga tahun untuk berbenah dan mempersiapkan diri sebelum aturan itu berlaku penuh.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas