Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

China: Sanksi Terhadap Rusia Bisa Memicu Perang Mata Uang dan Dagang

China telah menolak untuk mengutuk tindakan Rusia di Ukraina atau menyebutnya sebagai invasi, dan berulang kali mengkritik sanksi Barat ilegal

Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in China: Sanksi Terhadap Rusia Bisa Memicu Perang Mata Uang dan Dagang
Pixabay/SW1994
China: Sanksi Terhadap Rusia Bisa Memicu Perang Mata Uang dan Dagang 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak China memperingatkan, efek sanksi terhadap Rusia berisiko mengarah ke perang mata uang dan perdagangan.

Pernyataan itu sehari setelah Uni Eropa memperingatkan Beijing dalam pertemuan puncak virtual Uni Eropa-China pada Jumat (1/4/2022) soal sanksi atas Rusia menyusul invasi ke Ukraina.

Wang Lutong, Direktur Jenderal Urusan Eropa Kementerian Luar Negeri China, menyatakan, China berkontribusi pada ekonomi global dengan melakukan perdagangan normal dengan Rusia.

Baca juga: Pemerintah Disarankan Gaet China Untuk Selamatkan Presidensi G20

"China bukan pihak terkait dalam krisis Ukraina. Kami tidak berpikir perdagangan normal kami dengan negara lain harus terpengaruh," katanya, Sabtu (2/4/2022), seperti dikutip Reuters.

China telah menolak untuk mengutuk tindakan Rusia di Ukraina atau menyebutnya sebagai invasi, dan berulang kali mengkritik sanksi Barat ilegal dan sepihak.

"Kami menentang sanksi, dan efek dari sanksi ini juga berisiko menyebar ke seluruh dunia, yang mengarah ke perang mata uang, perang perdagangan dan keuangan," ungkap Wang.

"Dan juga berisiko membahayakan rantai pasokan dan rantai industri dan globalisasi dan bahkan tatanan ekonomi," sebutnya.

Menlu Rusia Sergey Lavrov dan Menlu China Wang Yi saat bertemu di Tunxi, Provinsi Anhui, Rabu (30/3/2022).
Menlu Rusia Sergey Lavrov dan Menlu China Wang Yi saat bertemu di Tunxi, Provinsi Anhui, Rabu (30/3/2022). (Zhou Mu/Xinhua via AP)
BERITA REKOMENDASI

Dampak Sanksi ke Rusia

Sanksi negara-negara Barat ke Rusia mulai berdampak.

Eropa dilanda inflasi yang sangat tinggi. 

Hari ini, inflasi di benua negara-negara maju itu melonjak ke rekor baru. 

Demikian menurut angka baru Uni Eropa yang dirilis pada Jumat (1/4/2022).


Ini merupakan tanda baru bahwa kenaikan harga energi yang dipicu oleh perang Rusia di Ukraina menekan konsumen dan menambah tekanan pada bank sentral untuk menaikkan suku bunga.

Baca juga: Bertemu Menlu Rusia di China, Menteri Luar Negeri Indonesia Minta Perang Segera Dihentikan

Melansir Associated Press, harga barang-barang konsumen di 19 negara yang menggunakan mata uang euro naik dengan tingkat tahunan 7,5 persen di bulan Maret, menurut badan statistik Uni Eropa, Eurostat.

Angka inflasi terbaru ini meruntuhkan rekor tertinggi bulan lalu ketika mencapai 5,9 persen.

Bulan kelima berturut-turut inflasi di zona euro mencatat rekor tingkat inflasi.

Rekor baru ini membawa inflasi ke level tertinggi sejak pencatatan untuk euro dimulai pada tahun 1997.

Naiknya harga barang-barang konsumen adalah masalah yang berkembang di seluruh dunia.

Ini membuat semua warga kian sulit membeli segala sesuatu.

Mulai dari bahan makanan hingga membayar tagihan listrik mereka.

Melonjaknya biaya energi adalah faktor utama yang mendorong inflasi di Eropa.

Harga energi melonjak 44,7 presen bulan lalu, kata Eurostat, naik dari 32 persen di Februari.

Baca juga: Anak Presiden AS Joe Biden Dituduh Terima Rp 69 Miliar dari Perusahaan China

Harga minyak dan gas melonjak karena meningkatnya permintaan dari ekonomi yang baru pulih dari kedalaman jurang pandemi Covid-19.

Inflasi melonjak lebih tinggi setelah Rusia, produsen minyak dan gas utama, menginvasi Ukraina.

Peristiwa tersebut memunculkan kekhawatiran bahwa sanksi atas Rusia dan pembatasan ekspor dapat menghambat pasokan.

Di sebuah pasar rakyat di Cologne, Jerman, seorang konsumen, Andreas Langheim mengeluhkan bagaimana hidup menjadi lebih mahal.

"Saya bisa melihat efek kenaikan harga, terutama di pasar ini," kata Langheim, 62 tahun, sambil mengambil roti dari toko roti.

"Semuanya lebih mahal sekarang."

Angka-angka terbaru itu, kata para analisis, kian mendesak Bank Sentral Eropa untuk mengambil tindakan.

Bank berusaha menyeimbangkan rekor inflasi dengan ancaman bahwa perang bisa merugikan ekonomi yang sebelumnya sudah berada di bawah tekanan.

Bulan lalu, Bank Sentral Eropa mempercepat upaya keluar dari stimulus ekonomi untuk memerangi inflasi. Namun, Bank Sentral Eropa belum mengambil tindakan lebih drastis.

"Kami berpikir bahwa ECB (European Central Bank) akan segera menyimpulkan mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi sebelum mulai menaikkan suku bunga," Jack Allen-Reynolds, ekonom senior Eropa di Capital Economics, dalam sebuah laporan.

Bank sentral lain mulai menaikkan suku bunga. Ini termasuk Amerika Serikat, yang inflasinya melonjak ke level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, sebesar 7,9 persen.

Negara-negara Eropa yang tidak menggunakan euro, termasuk Inggris, Norwegia, dan Republik Ceko juga melakukan hal yang sama, yaitu menaikkan suku bunga.

Di zona euro, ada kenaikan harga untuk kategori pengeluaran lain selain energi.

Biaya makanan, alkohol, dan tembakau naik 5 persen, dibandingkan dengan 4,2 persen di bulan sebelumnya.

Sementara, harga barang-barang seperti pakaian, peralatan, mobil, komputer, dan buku naik 3,4 persen, naik dari 3,1 persen. Ongkos layanan naik 2,7 persen, dibandingkan 2,5 persen sebelumnya.

Perdana Menteri Italia Mario Draghi, mantan presiden Bank Sentral Eropa, menguraikan bagaimana masalah tersebut menimpa kalangan rumah tangga.

“Inflasi naik karena harga bahan baku naik, khususnya untuk bahan makanan. Merekalah (inflasi) yang paling memukul daya beli keluarga,'' kata Draghi kepada wartawan asing, Kamis (31/3).

“Kekurangan beberapa bahan baku menciptakan hambatan dalam produksi dan memaksa kenaikan harga lebih lanjut,” tambah Draghi.

Draghi mengatakan, selama inflasi tetap bersifat sementara, pemerintah dapat merespons dengan langkah-langkah anggaran.

Misalnya, membantu keluarga berpenghasilan rendah dengan biaya pemanas dan listrik yang lebih tinggi.

Tetapi jika itu menjadi masalah jangka panjang, responsnya harus struktural, katanya.

Sumber: Kontan

Sumber: Kontan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas