Imbas Konflik Rusia Vs Ukraina, Harga Pangan Dunia Cetak Rekor Tertinggi, Picu Krisis Global
Harga pangan dunia pada Maret 2022 terpantau melonjak drastis ke rekor tertinggi selama satu dekade terakhir.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Sanusi
Kawasan Eropa tidak dapat terhindar dari kenaikan harga pangan global. Bahkan harga alkohol dan tembakau di wilayah ini juga ikut naik sebesar 4,1 persen di bulan Februari, dari 3,5 persen di bulan Januari.
Profesor Ekonomi Pertanian dan Direktur Pusat Penelitian Pembangunan di Universitas Bonn, Dr. Matin Qaim mengatakan sebagian besar jagung yang diimpor dari Ukraina digunakan untuk bahan makan ternak. Sehingga kemungkinan konflik di Ukraina dapat mempengaruhi kenaikan harga daging di kawasan Eropa.
"Saya tidak berpikir kita akan melihat rak kosong untuk produk makanan apa pun di Eropa, dan alasannya adalah, pertama-tama, kami tidak mengimpor gandum dari Ukraina atau Rusia, atau setidaknya tidak dalam jumlah besar. Kami mengimpor jagung dari Ukraina dan itu terutama digunakan sebagai pakan ternak sehingga itu adalah sesuatu yang mungkin kami rasakan." kata Dr. Matin Qaim.
Harga gandum melonjak, UE didesak bangun ketahanan sistem pangan
Dua negara yang sedang terlibat konflik, Ukraina dan Rusia sering disebut sebagai lumbung pangan dunia karena memproduksi sekitar 30 persen komoditas pangan seperti gandum dan jagung.
Walaupun Ukraina memilik luas wilayah 28 kali lebih kecil dari Rusia, namun negara ini menyediakan 16 persen gandum dan 12 persen jagung, untuk kebutuhan global.
Dua minggu setelah terjadinya konflik, Ukraina mengambil keputusan untuk melarang ekspor bahan makanan pokok, dan akan memprioritaskan bahan pangan untuk penduduknya. Sejak saat itu, Rusia mengikuti langkah Ukraina untuk melarang ekspor gandum ke beberapa negara tetangganya hingga akhir Juni.
Baca juga: 2 Roket Rusia Hantam Stasiun Kereta Api di Ukraina Timur, Lebih dari 30 Orang Tewas
Untuk mengatasi kekhawatiran meningkatnya krisis pangan, para menteri pertanian Uni Eropa mulai mendiskusikan masalah ini, pada Kamis (7/4/2022) kemarin. Komisaris Uni Eropa untuk pertanian, Janusz Wojciechowski menyebut salah satu isu yang dibahas adalah cara untuk mengisi posisi Ukraina sebagai pengekspor biji-bijian dan gandum.
Bulan lalu, Komisi Eropa telah memberi dukungan khusus untuk Ukraina dan petani Eropa yang terkena dampak langsung oleh kenaikan harga pangan. UE juga menjanjikan akan meningkatkan ketahanan pangan di wilayah tersebut.
Baca juga: AS Kirim 12.000 Sistem Anti-Armor, 1.400 Sistem Anti-Pesawat dan Ratusan Drone Bunuh Diri ke Ukraina
Untuk meningkatkan produksi UE lebih jauh, menteri pertanian Prancis Julien Denormandie mengatakan UE perlu memiliki target produksi yang dapat meningkatkan hasil pertanian dan memastikan semua orang mendapat bahan makanan.
"Rusia menggunakan biji-bijian sebagai instrumen strategis untuk menyebabkan kerusakan, Kita perlu mengurangi ketergantungan kita, dan untuk itu, kita perlu menentukan berapa banyak yang kita butuhkan," kata Denormandie, yang dikutip dari situs euobserver.com.
Denormandie juga mengingatkan Perjanjian Roma, salah satu dokumen pendiri UE, yang mewajibkan anggota UE untuk memastikan pasokan makanan yang stabil bagi warganya.
Namun, anggota UE lainnya menyoroti selain Eropa, ada wilayah lain yang jauh lebih berisiko terhadap krisis pangan, terutama negara-negara di Afrika. Banyak negara Afrika, termasuk Benin, Mesir, Sudan, Madagaskar, dan Burundi sangat bergantung pada gandum Ukraina.
Baca juga: Invasi Rusia ke Ukraina Ganggu Pasokan Gandum, Wilayah Timur Tengah Dibayangi Krisis Pangan
Lebih dari 31 juta orang diperkirakan membutuhkan bantuan pangan mendesak di wilayah Sahel di Afrika Barat karena kemarau panjang selama bertahun-tahun. Jumlah ini kemungkinan besar akan jauh lebih tinggi, mengingat adanya gangguan pengiriman pasokan yang sedang terjadi.
Seorang peneliti di Pusat Manajemen Kebijakan Pembangunan Eropa, Koen Dekeyser, memperingatkan adanya pembatasan ekspor gandum dan biji-bijian akan mendorong harga naik lebih jauh.