Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Asosiasi Logistik dan Forwarder Usul Cabut Subsidi Solar, Ini Alasannya

Dengan disparitas harga yang demikian tinggi, pemberian subsidi solar sangat berpotensi memunculkan spekulan atau tengkulak.

Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Asosiasi Logistik dan Forwarder Usul Cabut Subsidi Solar, Ini Alasannya
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (15/2/2022). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Wartawan Tribunnews, Malvyandie Haryadi
 
 
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) secara resmi mengusulkan agar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencabut subisidi solar untuk truk angkutan barang/kontainer logistik.

Alasannya, pemberian subsidi solar justru membuat antrean panjang sehingga berdampak terhadap terlambatnya waktu pengiriman barang.  

"Benar, kami sudah mengusulkan kepada Pemerintah. Kami melihat permasalahan ini selalu berulang dari tahun ke tahun. Bagaimana truk-truk pengangkut barang ini harus mengantre berjam-jam, bahkan seharian lebih hanya untuk mendapatkan solar bersubsidi. Dari tahun ke tahun selalu seperti itu. Artinya ada (kebijakan) yang salah," ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) ALFI, Yukki Nugrahawan Hanafi, kepada media hari ini.

Dengan harus antre demikian lama, menurut Yukki, perusahaan logistik harus menanggung komplain dari pelanggan karena kiriman barang menjadi lebih lama sampai di tujuan.

Baca juga: Solar Langka Bikin Perjalanan Bus AKAP dari Medan ke Padang 30 Jam, Biasanya Cuma 20 Jam

Tak hanya itu, biaya logistik juga membengkak karena waktu pengiriman yang menjadi demikian lama, sehingga perusahaan logistik harus membayar demurage sebesar Rp650.000 per hari.

"Padahal solar (bersubsidi) itu hak kami, tapi sangat susah didapatkan. Berdasar informasi dari anggota kami di lapangan, ada indikasi solar bersubsidi ini justru diborong oknum tertentu untuk  dijual ke industri perkebunan dan pertambangan yang harusnya mengkonsumsi Dexlite," tutur Yukki.

Baca juga: Ini Tanda-tanda Bakal Naiknya Harga Pertalite dan Solar

Yukki menjelaskan, praktik penyelewengan di lapangan ini dapat terjadi lantaran adanya perbedaan mencolok antara harga solar non subsidi (Dexlite) yakni Rp12.150-Rp13.200 per liter dengan harga solar bersubsidi yang hanya Rp5.150 per liter.

BERITA REKOMENDASI

Dengan disparitas harga yang demikian tinggi, maka sangat berpotensi memunculkan spekulan atau tengkulak.

Hal ini mengakibatkan kebijakan pemberian subsidi oleh pemerintah yang niatnya bagus, menjadi tidak tepat sasaran.

Baca juga: Truk Quester Euro 5 Masih Bisa Minum Biosolar, Rahasianya di Penggunaan AdBlue

"Dari pemikiran itulah kami berkesimpulan, sebaiknya tidak usah ada lagi solar bersubsidi. Cukup ada satu jenis solar (dexlite) saja di SPBU. Dengan begitu bagi kami para pengusaha, justru ada kepastian," tutur Yukki.

Usulan penghapusan BBM solar bersubsidi tersebut, diakui Yukki merupakan pilihan sulit bagi ALFI dan seluruh anggota. Sebab, mereka terpaksa harus menaikkan tarif pengiriman.

Hal ini lantaran BBM merupakan komponen terbesar dalam struktur biaya angkutan barang.


"Tapi bagi kami itu lebih realistis. Ketimbang secara kebijakan seolah-olah ada subsidi tapi manfaatnya tidak sampai juga ke kami. Maka sebaiknya sekalian tidak perlu ada (solar bersubsisi) saja. Sekarang tinggal pemerintah seperti apa. Yang jelas usul sudah kami sampaikan, tinggal pemerintah yang memutuskan," tegas Yukki. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas