Ditentang Produsen AMDK, Pakar Bisnis Sebut Pelabelan BPA pada Galon Justru Ciptakan Pasar
Terkait rencana regulasi ini, sejumlah pihak menolak bahkan mengklaim regulasi tersebut dapat menjadi “vonis mati” bagi industri AMDK. Benarkah?
Penulis: Nurfina Fitri Melina
Editor: Bardjan
TRIBUNNEWS.COM - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyusun draft Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, yang akan mewajibkan produk air minum dalam kemasan (AMDK) galon berbahan polikarbonat agar mencantumkan label “berpotensi mengandung BPA”.
Bisphenol-A (BPA) merupakan senyawa kimia yang digunakan dalam kemasan plastik polikarbonat untuk membuat plastik tidak mudah hancur dan biasa digunakan dalam kemasan galon. Penelitian membuktikan adanya bahaya migrasi BPA bagi kesehatan manusia, termasuk mengganggu perkembangan otak dan berkontribusi pada perkembangan sel kanker.
Terkait rencana regulasi ini, sejumlah pihak menolak bahkan mengklaim regulasi tersebut dapat menjadi “vonis mati” bagi industri AMDK.
Bahkan, asosiasi produsen AMDK mengklaim bakal merugi sekitar Rp 6 triliun akibat biaya penarikan galon polikarbonat dan Rp10 triliun akibat penggantian ke galon non-polikarbonat.
Kontestasi pasar itu biasa, yang utama adalah strategi menjaga kualitas.
Menurut Regional Manager AMDK Cleo, Yohanes Catur Arkiyono, terkait rencana pelabelan BPA ini, pelaku industri AMDK justru dapat menjadikan wacana ini sebagai sarana untuk berinovasi demi memberikan produk yang lebih berkualitas bagi masyarakat.
"Untuk teman-teman pelaku usaha lainnya menurut saya tidak perlu ada yang dikhawatirkan sepanjang kita memprosesnya dilakukan dengan benar dan memenuhi regulasi BPOM. Bukan masalah polikarbonat atau non-polikarbonat, tetapi proses untuk pengendalian BPA-nya yang penting," ujar Yohanes dalam Webinar FMCG Insights Talk dengan tema "Pelabelan BPA: Menuju Masyarakat Sehat dengan Pasar Sehat", Kamis (21/4/2022).
Menurut Yohanes, pencantuman label BPA-free pada produk AMDK juga menjadi upaya pelaku usaha dan pemerintah untuk bersama-sama memberi edukasi dan sosialisasi terhadap konsumen.
“Ini menjadi kesempatan untuk pelaku usaha, BPOM dan pemerintah secara bersama-sama memberikan edukasi (mengenai BPA) dan sosialisasi kepada masyarakat dengan metode yang simpel,” ujarnya.
Arkiyono juga mengatakan, sah-sah saja jika ada kontestasi pasar antarpelaku industri, asalkan tidak saling menjatuhkan produk satu sama lain dan tetap menjaga kualitas serta memenuhi regulasi yang berlaku.
Pasar AMDK bisa jadi lebih hidup dan kompetitif
Senada dengan itu, Pakar Ekonomi dan Bisnis FE UI Tjahjanto Budisatrio, yang juga hadir sebagai narasumber pada kesempatan yang sama, mengungkapkan penerapan pelabelan risiko BPA pada AMDK justru akan membuat pasar menjadi lebih hidup.
Maka dari itu, dia mengharapkan, regulasi terbaru dari BPOM nantinya akan memberikan dampak baik bagi masyarakat dan pasar industri AMDK.
“Saya mengharapkan dengan resminya regulasi BPOM nanti memberikan suatu kesehatan bagi masyarakat. Karena saya melihat bahwa selain kesehatan secara masyarakat, juga kesehatan dalam pasar itu sendiri karena mereka akan bersaing dan contestable market akan tercipta sehingga pasarnya lebih hidup dan lebih bersaing sehingga lebih efisien,” jelasnya.
Terlebih, tambah Budisatrio, BPOM juga telah memperhitungkan segala kemungkinan yang bisa terjadi atas pelabelan ini dan para pengusaha pun tidak akan mengalami kerugian fantastis tersebut.
Pasalnya, dalam aturan BPOM sendiri galon AMDK hanya akan diberi label tanpa dihancurkan.
"Hanya dilabeli. Kalau dibilang rugi Rp 6 triliun sampai Rp 11 triliun, saya rasa tidak, karena galonnya tidak dihancurkan. Cukup dilabeli, boleh saja dijual, persis rokok. Boleh dijual tapi ada labelnya," jelasnya.
Budisatrio juga menambahkan, pelabelan risiko BPA pada galon juga akan menciptakan iklim pasar yang lebih kompetitif. Ia juga menanggapi tentang isu praktik persaingan tidak sehat yang dapat terjadi di antara pelaku industri AMDK.
Menurutnya, persaingan sehat adalah kondisi pasar yang tidak ada rintangan ataupun halangan, untuk masuk dan keluar dalam suatu industri atau pasar. Sebelum ada rencana pelabelan BPA, ia sudah melihat adanya persaingan pada pasar AMDK.
“Sadar tidak sadar, saat membeli galon kita membawa galon si A, kita mau beli, ternyata sedang tidak ada di toko, kita tidak bisa menukar dengan galon si B. Otomatis ada sebuah kontrak jangka panjang yang sadar tidak sadar, tercipta dari sistem yang ada saat ini,” ujar Budisatrio.
Ia juga mengungkapkan, label BPA justru bisa mengarah ke pasar yang lebih kompetitif.
“Saat masyarakat yang memilih tidak menggunakan BPA, otomatis produk yang masih mengandung BPA akan memperbaiki produknya, sehingga ada persaingan saling menunjukan seberapa sehat dan seberapa bersih produk mereka. Inilah yang disebut pemain akan berkontes di pasar,” pungkas Budisatrio.
Menurut data yang diterima Tribunnews, dalam penyusunan dan pembahasan rancangan peraturan ini BPOM telah melakukan kajian scientific based/policy brief, yaitu meliputi kajian keamanan BPA, kajian dampak ekonomi kesehatan, kajian dampak lingkungan hidup, dan kajian dampak sosial.
Selain itu, pelabelan BPA-free ini semata untuk mewadahi concern BPOM terkait kemungkinan munculnya masalah-masalah kesehatan publik di masa depan, sekaligus memenuhi hak konsumen untuk mengetahui kualitas pangan yang mereka konsumsi.