Belum Ada UU PDP, Kemenko Polhukam Nilai Kominfo Belum Bisa Kenakan Denda Administratif
Perkembangan teknologi seperti sosial media dan cloud computing, menyebabkan terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Penulis: Hendra Gunawan
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dunia telah memasuki masa revolusi industri 4.0. Salah satu unsur revolusi industri 4.0 adalah Big Data, yang merupakan era terjadinya pengumpulan dan pengelolahan segala jenis data, termasuk data pribadi.
Perkembangan teknologi seperti sosial media dan cloud computing, menyebabkan terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Presiden Joko Widodo menyatakan, data adalah jenis kekayaan baru yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Bahkan saat ini data adalah new oil, bahkan lebih berharga dari minyak. Data yang valid sangat dibutuhkan untuk menyusun perencanaan, anggaran, membuat kebijakan hingga mengeksekusi kebijakan tersebut untuk hasil yang efektif.
Baca juga: Baleg DPR Sebut Pembahasan Revisi UU ITE Bakal Dilakukan Setelah RUU PDP Rampung
Melihat data yang sangat strategis tersebut menurut Asisten Deputi Koordinasi Telekomunikasi dan Informatika Kemenko Polhukam RI Marsma TNI. Dr. Sigit Priyono, Indonesia perlu menerapkan Data Free Flow with Trust (DFFT).
Dengan menerapkan DFFT diharapkan kedaulatan data, perlindungan data pribadi dan keamanan digital dapat terwujudkan. Sehingga dapat membangkitkan kekuatan ekonomi digital Nasional. Tanpa adanya DFTT niscaya ekonomi digital dapat terwujud.
Untuk mewujudkan kedaulatan data, perlindungan data pribadi dan keamanan digital, suatu negara membutuhkan undang-undang atau regulasi mengenai pengaturan data yang bersifat mengikat secara Nasional maupun internasional. Saat ini sudah ada 136 negara di dunia yang memiliki UU perlindungan data pribadi (UU PDP) atau General Data Protection Regulator (GDPR).
Baca juga: Minimalkan Error Data, Kemnaker Relaunching Aplikasi Pengantar Kerja
Bahkan menurut Sigit sebagian besar negara Asean seperti Singapura, Thailand dan Filipina sudah memiliki regulasi yang melindungi data pribadi. Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Asean hingga saat ini belum memiliki UU PDP.
Padahal pembahasan RUU PDP yang sudah melalui lebih dari tiga masa sidang di DPR. Progres diskusi dengan DPR juga sudah lebih dari 50 persen. Karena terlalu banyak UU PDP ini, maka perlu kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan untuk segera menyelesaikan RUU PDP yang sudah terlalu lama mangkrak.
"Indonesia harus siap terhadap serangan cyber dan jangan sampai data masyarakat dikuasai oleh pihak asing yang tak bertanggung jawab. Oleh sebab itu Indonesia perlu segera memiliki UU PDP. Saat ini UU PDP mengalami sedikit kendala. Sehingga saat ini perlu kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan untuk segera menyelesaikan RUU PDP,"ungkap Sigit dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Rabu (18/5/2022).
Dalam menerapkan DFFT di hubungan internasional, menurut Sigit harus berada dalam koridor kepentingan Nasional berupa keamanan dan kesejahteraan dengan mengedepankan penempatan data dan pertanggung jawaban atas pengelolaan data.
Selain itu harus juga harus memprioritaskan kesepakatan dan prinsip yang saling menguntungkan antar pihak dengan mengedepankan perlindungan.
Selain itu mengembangkan kerangka hukum dan administrasi DFFT yang memungkinkan lawful intercept. Serta mendorong sistim keamanan yang handal melalui pengimplementasian standar minimum dalam DFFT.
Untuk itu perlu penguatan prinsip dan payung hukum dalam hubungan internasional mengenai DFFT. Termasuk untuk mengakomodasi keberadaan teknologi baru yang berkaitan dengan data pribadi.