WEF 2022 Bahas Ekonomi Digital, Dominasi Asean Dinilai Semakin Besar, Indonesia Harus Siap
Salah satu mata acara pertemuan tahunan WEF itupun secara khusus mengulas perkembangan digitalisasi di kawasan Asean.
Penulis: Sanusi
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - World Economic Forum Annual Meeting (WEFAM) 2022 yang dihelat di Davos, Swiss, kembali membahas pentingnya teknologi digital bagi pembangunan perekonomian global dan regional.
Salah satu mata acara pertemuan tahunan WEF itupun secara khusus mengulas perkembangan digitalisasi di kawasan Asean.
Pada kesempatan World Economic Forum Annual Meeting 2022 di Davos, Swiss, dihelat acara bertajuk “A Digital Asean for ALL”.
Dalam acara itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bersama menteri lainnya dari Asean bertemu dengan para mitra strategis membahas proyeksi serta pembangunan infrastruktur digital di kawasan.
Sedangkan Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady bertindak sebagai moderator acara tersebut. Dalam pembahasan yang mempertemukan para pebisnis, figur publik, dan pejabat pemerintahan itu menyimpulkan bahwa Covid-19 justru membantu negara-negara Asean mengakselerasi teknologi digital.
Terjadi peningkatan pengguna internet lebih dari 10 persen dalam setahun belakangan. Hal ini pun dianggap sebagai kekuatan penting yang bakal menopang kehidupan masyarakat ke depan, terutama di bidang ekonomi.
Baca juga: Pertemuan G20 Penting untuk Peningkatan Akses Masyarakat Rural ke Ekonomi Digital
Salah satu yang disorot adalah potensi perkembangan pasar internet yang akan terus tumbuh secara signifikan di Asean.
“Dalam dekade ini, ekonomi berbasis digital atau internet akan berkontribusi hampir US$1 triliun terhadap PDB Asean,” ungkap Menko Airlangga.
Selain itu, pembahasan juga berfokus pada kontribusi konkret arus digitalisasi terhadap kehidupan masyarakat Asean. Terdapat persoalan terkait kesenjangan keterampilan dan literasi digital yang harus diselesaikan pemerintah.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady mengamini bahwa teknologi digital telah memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi saat ini dan nanti. Indonesia yang merupakan negara terbesar di Asean harus bisa melihat perkembangan digitalisasi di tingkat regional tersebut.
Menurut John, Asean saat ini memegang kendali pertumbuhan PDB ketiga di dunia, setelah China dan India. Bahkan, dari banyak prediksi, kawasan Asia Tenggara ini bisa menembus sebagai perekonomian keempat terbesar dunia pada 2030.
Pertumbuhan PDB yang signifikan di kawasan Asean akan berkesinambungan. “Selama dekade berikutnya, setiap 1 dari 6 rumah tangga yang memasuki kelas konsumsi dunia akan berasal dari Asean,” ujar John.
Sebab, Asean memiliki potensi pasar yang sangat besar dan sumber daya yang cukup. Pada 2030, populasi usia kerja Asean akan meningkat sebesar 40 juta, pada saat populasi China yang akan berkurang 30 juta.
“Dan perbedaan ini akan terus mendalam selama 30 tahun ke depan,” kata John.
Seluruh perkembangan yang terjadi di kawasan ini melibatkan pula kemajuan digitalisasi perekonomian. Asean saat ini menjadi rumah bagi 400 juta pengguna internet dengan ekonomi digital yang bernilai lebih dari 100 miliar dolar AS. Tidak berlebihan jika menilai bahwa Asean bakal menjadi kekuatan ekonomi dan teknologi berikutnya di dunia.
“Ini adalah kesempatan generasi kita. Tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa pertumbuhan ini berkelanjutan dan bahwa transformasi digital memberikan manfaat yang inklusif dan nyata bagi semua orang di Asean,” kata John.
Episentrum Pertumbuhan
Di sisi lain, Indonesia sejauh ini memainkan peran strategis dalam pertumbuhan ekonomi digital di regional Asean. Pernyataan itu sejalan dengan fakta yang dicatat dalam riset Google dan Bain yang memaparkan bahwa pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia saja mengalami lonjakan tajam sejak 2019.
Bahkan dalam suatu risetnya, disebutkan pada 2030 ekonomi digital di Indonesia akan mencapai nilai sebesar US$330 miliar. Terjadi peningkatan lima kali lipat dari 2021 yang sebesar US$70 miliar.
John menilai prediksi itu tidak mengejutkan. Sebab, katanya, diukur dari sudut valuasi perusahaan teknologi digital saja terjadi peningkatan 1.000 kali lipat dalam delapan terakhir.
“Pada 2014, value dari seluruh perusahaan teknologi di Indonesia hanya berkisar Rp 1 triliun. Saat ini dengan semakin majunya perusahaan tersebut, nilainya bisa mencapai Rp 1.000 triliun,” ungkap John.
Lebih jauh, dia menilai perkembangan saat ini masih merupakan titik awal.
“Kalau kita lihat Indonesia dibandingkan negara-negara lainnya, misalkan Tiongkok atau Amerika, porsi teknologi market value masih sangat kecil. Contohnya yang tercatat di Indonesia mungkin teknologi total 3 persen, barangkali sekarang 4 persen-5 persen. Di China, MSCI Index teknologi itu ada 26 persen,” jelas John.
Salah satu faktor terbesar yang membuat penetrasi teknologi semakin massif yakni perubahan perilaku konsumen dan pola hidup masyarakat. “Dan Indonesia itu dihuni sekitar 280 juta populasi, ini yang menjadi peluang besar,” ungkap John.
Strategi Bisnis
Melihat potensi perkembangan yang signifikan ke depan itu, John mengungkapkan Indonesia harus ambil bagian dalam perekonomian digital baik pada level nasional maupun regional Asean. Hal ini pula yang mendorong Lippo membentuk Ventura pada tahun 2014.
Melalui ventura ini, Lippo rajin mencari para inisiator perusahaan teknologi yang memiliki potensi berkembang di Indonesia bahkan Asean. “Seperti yang telah kami kembangkan antara lain RuangGuru, Sociolla, Grab, dan lain-lain,” ungkap John.
Dengan kata lain, sejauh ini Indonesia mempunyai peluang sebagai episentrum pengembangan teknologi digital di Asean. Bermodal populasi yang besar serta penetrasi internet semakin masif, Indonesia berpeluang melahirkan lebih banyak lagi perusahaan teknologi digital.
Salah satu cara paling efektif, kata John, adalah strategi yang digunakan Lippo dalam mengembangkan berbagai perusahaan teknologi digital. “Strategi pertama, tentunya kami ikut berkolaborasi dengan para pendiri dan inisiator, kami mengawal mereka agar menjadi entrepreneur-entrepreneur yang siap memajukan perusahaan,” kata John.
Lebih jauh, Lippo juga membuka kemitraan dengan berbagai perusahaan-perusahaan teknologi global yang ingin masuk ke Indonesia, seperti Ping An, Luno cryptocurrency exchange, digital currency group dan lain sebagainya.
“Para mitra raksasa itu ingin masuk tapi tidak punya mitra, lebih baik perusahaan dari Indonesia bisa menjalin kerja sama itu, hal itu dilakukan agar bisa menaikkan level, dan mengambil benefit dari para pemain global tersebut,” kata John.
Di sisi lain, terdapat strategi jitu lainnya, yakni mengawinkan keberadaan usaha konvensional dengan perusahaan teknologi digital. Saat ini, kata John, meskipun Indonesia diprediksi akan terus memetik pertumbuhan dari digitalisasi ekonomi, sebagian besar aktivitas masyarakat masih bersandar pada pola konvensional.
Sebaliknya, secara global seperti tren di China, telah melahirkan konsep omni channel, yakni modus bisnis yang mengkombinasikan layanan digital plus dengan sentuhan fisik. Investasi JD.id terhadap jaringan bisnis perbelanjaan konvensional, misalnya, menyiratkan strategi tersebut.
“Hal inilah yang kami coba terobos, mengawinkan jaringan bisnis konvensional kami dengan perkembangan teknologi digital, hampir seluruh usaha konvensional kami kini telah beradaptasi dengan teknologi, seperti Siloam yang kini juga mengandalkan layanan terdigitalisasi. Atau paling mengesankan adalah kemitraan MPPA dengan perusahaan teknologi digital,” tutup John.