Sekjen TII Nilai Masih Ada Celah Praktik Penghindaran Pajak Cukai Rokok
Kebijakan cukai rokok di Indonesia masih berpotensi membuka peluang untuk penghindaran pajak khususnya lewat struktur tarif cukai hasil tembakau.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan cukai rokok di Indonesia masih berpotensi membuka peluang untuk penghindaran pajak khususnya lewat struktur tarif cukai hasil tembakau.
Hal itu dikatakan Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko dalam Webinar Mendorong Optimalisasi Penerimaan Negara dari Cukai Hasil Tembakau, Kamis (2/6/2022).
“Awalnya dengan kenaikan cukai itu, kita berharap ada tambahan penerimaan negara sekaligus pengendalian konsumsi,” kata Danang.
Baca juga: Ekonom Usul Kenaikan Cukai Diiringi Penyesuaian Harga agar Efektif Kurangi Konsumsi Rokok
Namun ada juga ternyata konsekuensi lain, yakni praktik penghindaran pajak.
Danang menuturkan sruktur tarif cukai hasil tembakau dan batasan produksi, utamanya pada segmen rokok mesin, memiliki kelemahan, baik dari sisi produsen maupun konsumen.
“Ketika cukai naik, konsumen dapat bergeser ke produk yang lebih murah karena selalu ada alternatif. Cukai berkurang efektivitasnya karena harga rokok masih bisa dijangkau akibat struktur cukainya,” kata Danang.
Baca juga: Tarif Cukai Rokok Perlu Dibuat dalam 5 Layer untuk Dorong Penerimaan Negara
Terkait dengan struktur tarif cukai, lanjutnya, sebetulnya Kemenkeu sudah pernah merumuskan kebijakan penyederhanaan pada 2017 namun beleid itu dibatalkan dan kebijakannya saat ini baru terlaksanan sebagaian.
“Tahun lalu dalam perjalanannya, struktur yang baru lebih sederhana dari 10 menjadi 8 lapisan. Jauh dari target semula, tapi ada kemajuan karena lebih sederhana,” ujar Danang.
Celah kebijakan cukai saat ini tidak hanya di jumlah lapisannya saja, tapi ketentuan masing - masing lapisan.
Pada tahun 2017, batasan produksi SKM dan SPM golongan 2 dinaikkan dari dua miliar batang ke tiga miliar batang.
Menurutnya, batasan produksi pada SKM dan SPM, serta jarak tarif cukai yang signifikan di antara kedua golongan yang ada saat ini, telah memicu perusahaan besar untuk turun golongan.
“Jangan-jangan nanti golongan 1 kabur semua ke golongan 2. Kalau praktik penghindaran pajak ini tidak diantisipasi sekarang, penerimaan jadi sangat tidak optimal karena pabrikan ramai – ramai pakai cukai golongan 2 yang jauh lebih murah,” katanya.
Jika perusahaan besar tidak membayar cukai sesuai golongannya, penerimaan negara yang diterima tidak akan maksimal.
“Dengan diangkat ke 3 miliar batang, ini membuat sebagian besar perusahaan besar bisa pindah ke golongan 2. Jadi tidak cukup hanya simplifikasi mengurangi jumlah layer saja. Ketentuan tiap layer juga perlu diawasi karena potensi praktik penghindaran pajak bisa berasal dari sini,” katanya.