Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Harga Jual Minyak Goreng Curah tak Boleh Lebih dari Rp 16 Ribu Per Liter, Pedagang Berhenti Jualan

Mansuri meminta harga minyak goreng di tangan pedagang berada di bawah HET yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 14 ribu per liter.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Harga Jual Minyak Goreng Curah tak Boleh Lebih dari Rp 16 Ribu Per Liter, Pedagang Berhenti Jualan
Warta Kota/Nur Ichsan
Pedagang sembako di Cibodas, Kota Tangerang, Banten, Deni Setiawan sedang mengemas minyak goreng curah dalam kemasan plastik ukuran 1 kilogram, Minggu (10/4/2022). Minyak goreng ini usai dikemas langsung ludes seketika karena telah dipesan oleh para pelanggannya yang kebanyakan pedagang kecil seperti pedagang gorengan, warteg, dan warung-warung kecil yang kesulitan minyak goreng murah. Warta Kota/Nur Ichsan 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) menyebut banyak pedagang pasar berhenti jualan minyak goreng curah. Alasannya, karena dipatoknya harga jual tidak boleh lebih dari Rp 16 ribu per liter.

Ketua Umum Ikappi Abdullah Mansuri mengatakan, para pedagang pasar saat ini khawatir karena banyaknya intervensi melalui surat edaran agar harga jual minyak goreng tidak lebih Rp 16 ribu per liter.

"Pedagang pasar mengkhawatirkan ada tindakan yang buat sulit, daripada risiko itu, banyak yang menyampaikan kami berhenti jualan minyak goreng," kata Abdullah saat dihubungi, Senin (6/6/2022).

Menurutnya, pengawasan minyak goreng seharusnya tidak hanya dilakukan ke para pedagang, tetapi juga ke pihak distributor atau agen dalam mengambil keuntungan dari komoditas pangan tersebut.

"Agen ini juga penting diawasi berapa margin mereka, kalau margin pedagang terukur Rp 1.000 sampai Rp 1.500 saya rasa ini masih fair, masih masuk akal," paparnya.

Ia meminta harga minyak goreng di tangan pedagang berada di bawah harga eceren tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 14 ribu per liter, agar ketika dijual ke masyarakat tidak melebihi ketentuan.

Baca juga: Luhut Ungkap Harga Minyak Goreng Sulit Turun, Singgung Penimbunan hingga Praktik Monopoli

"Kalau jual tanpa keuntungan tidak mungkin yah, justru itu tidak celah untung lebih baik tidak jualan, kalau terima Rp Rp 15.500, kami jual Rp 16 ribu sulit juga, ada untung tapi tipis banget, ya buat apa kaya kerja rodi," ucapnya.

BERITA TERKAIT

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengaku sudah menemukan biang keladi mengapa minyak goreng curah tak kunjung turun menjadi Rp 14.000 per liter.

Dia bilang, masalah yang menjadi biang keladi itu berbeda-beda di setiap tempat.

Salah satu masalahnya adalah monopoli, yang membuat realisasi distribusi di lapangan menjadi sulit dan terkendala.

"Berdasarkan hasil analisa mendalam, realisasi distribusi di lapangan merupakan kunci pengendalian harga yang baik. (Di tingkat) Distributor II ini jangan sampai ada monopoli yang dimiliki satu orang yang dia menahan harganya dan memainkan harganya," kata Luhut.

Luhut menyebut, salah satu kendala yang membuat harga minyak goreng tak kunjung turun terjadi di Jakarta. Di Ibu Kota, kata Luhut, ada produsen minyak goreng yang menimbun pasokan.

"Kelangkaan terjadi karena rasio barang yang diterima hingga tingkat pengecer menurun drastis. Hal ini mengindikasikan ada barang yang ditimbun dan didistribusikan ke luar wilayah target distribusi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab," jelas Luhut.

Kasus lainnya terjadi di Jawa Barat. Berdasar hasil analisanya, data distribusi minyak goreng curah di Jawa Barat seolah terkesan tidak memiliki kendala.

Namun jika menurunkan tim ke lapangan, harganya justru jauh lebih tinggi dibanding HET.

Setelah ditelusuri lebih lanjut, terdapat indikasi praktik monopoli.

Meskipun barang telah didistribusi hingga ke pengecer, perusahaan-perusahaan yang menjadi distributor II rupanya hanya dimiliki oleh 1 orang saja.

"Praktik monopoli ini menyebabkan harga rentan untuk spekulasi sehingga harga di masyarakat masih tinggi. Tapi sekarang sudah mulai kita tindak," jelas Luhut.

Selain di pulau Jawa, pihaknya menemukan kasus lain di Sumatera Utara.

Baca juga: UPDATE Harga Minyak Goreng, Senin 6 Juni 2022: Delima, Filma, Tropical hingga Bimoli

Tim yang diterjunkan ke lapangan menemukan, produk minyak goreng curah dari produsen yang seharusnya disalurkan ke distributor, dibawa kembali ke produsen.

"Jadi dia berputar kembali. Minyak goreng curah tersebut kemudian dikemas ke kemasan premium dan dijual dengan harga premium. Ini tentunya merugikan konsumen yang membelinya karena di sini ada permainan," ujar Luhut.

Belum Optimal

Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) Herry Mendrofa menilai kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) terhadap minyak goreng dalam negeri belum optimal.

Sebagaimana diketahui, pemerintah sejak 1 Juni 2022 telah menetapkan jumlah DMO sebanyak 300.000 ton minyak goreng per bulan.

Jumlah ini 50 persen lebih tinggi dibandingkan kebutuhan domestik sehingga harga minyak goreng bisa turun ke kisaran Rp 14.000 - Rp 15.000 per liter.

Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah kelangkaan dan menekan harga minyak goreng di pasaran.

"Kebijakan DMO dan DPO minyak goreng baru dikatakan sukses jika harga eceran tertinggi ramah terhadap kondisi ekonomi rakyat," ucap Herry Mendrofa.

Menurut dia, persoalan kebijakan DMO dan DPO terletak pada ketegasan Pemerintah dalam menerapkan aturan tersebut. Itu tercermin dari harga eceran tertinggi (HET) yang masih belum turun signifikan.

Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional pada Senin (6/6/2022) menunjukkan, harga minyak goreng curah berkisar Rp18.250 selama lima hari ke belakang.

Sementara harga minyak goreng kemasan bermerk 1 berkisar Rp 26.450 dan minyak goreng kemasan bermerk 2 Rp 25.400.

Selain itu persoalan mafia minyak goreng beberapa waktu lalu yang belum tuntas dapat menjadi tantangan optimalisasi DMO dan DPO.

Hal ini, kata dia, membuat kebijakan DMO dan DPO menjadi fleksibel terhadap potensi pelanggaran.

"Belum diusut sampai ke akar-akarnya, artinya ketegasan pemerintah dan penegak hukum belum nampak,” ujar Herry.

Selain itu dia melihat adanya kendala lain juga pada sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah soal DMO dan DPO menjadi tantangan kebijakan tersebut.

Untuk itu, Herry menganggap jika tidak ada evaluasi atas efektifitas dan efisiensi kebijakan DMO dan DPO dari pemerintah, maka penerapannya dianggap tak mempengaruhi kondisi apapun.

"Harus dievaluasi secara berkala karena mesti diuji dulu apa efektif atau tidak. Dari sini bisa dianggap tak ada perubahan apapun jika hasil evaluasinya minor," ujarnya.(Tribun Network/fal/sen/kps/wly)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas