Kenaikan Tarif Listrik Per 1 Juli 2022 Hanya Berlaku Bagi 2,09 Juta 'Orang Kaya'
Kenaikan tarif listrik ini akan menghemat APBN Rp 3,5 triliun dan hanya berdampak 0,01 persen terhadap inflasi.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian ESDM akan menaikkan tarif listrik (TDL) untuk 5 golongan pelanggan non subsidi, yakni pelanggan 3.500 VA ke atas, mulai 1 Juli 2022.
Kepastian kenaikan tarif listrik itu disampaikan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana pada Senin (13/6/2022) pagi.
"Kenaikan tarif listrik berlaku mulai 1 Juli. Sekarang masih berlaku tarif lama," kata Rida Mulyana.
Rida menjelaskan pelanggan listrik PLN non subsidi saat ini ada 13 golongan. Sementara, penyesuaian ini hanya diterapkan pada 5 golongan.
"Diputuskan yang kita sesuaikan untuk R2, R3 dan sektor pemerintah atau P atau publik," katanya.
"Jadi tarif listrik yang disesuaikan adalah R2, R3, P1, P2, dan P3 saja," ungkap Rida.
Rida memaparkan tarif listrik baru akan berlaku bagi pelanggan rumah tangga R2 dengan daya listrik 3.500 VA sampai 5.500 VA dan R3 dengan daya 6.600 VA ke atas.
Kemudian, kenaikan tarif listrik juga berlaku bagi kantor pemerintahan golongan P1 dengan daya 6.600 VA sampai 200 kVA, P2 dengan daya di atas 200 kVA, dan P3.
Sementara, tarif listrik untuk rumah tangga naik dari Rp 1.444,7 per kWh menjadi Rp 1.699 per kWh.
Baca juga: Tarif Listrik Naik, PLTS Atap Jadi Makin Menarik Digunakan
Dengan kata lain, biaya listrik akan naik 17,64 persen.
Tarif itu juga berlaku bagi kantor pemerintahan golongan P1 dengan daya 6.600 sampai 200 kVA.
Namun, untuk kantor pemerintahan P2 dengan daya lebih dari 200 kVA, tarif listrik akan naik 36,61 persen dari Rp 1.114,7 kWh menjadi Rp 1.522 kWh.
Rida menambahkan kenaikan tarif listrik untuk golongan tersebut akan menghemat APBN Rp 3,5 triliun.
Ia juga menyebut kenaikan tarif listrik ini hanya berdampak 0,01 persen terhadap inflasi.
Hal itu berdasarkan hitungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Dampak ke inflasi 0,01 persen, tidak terlalu berdampak," jelas Rida.
Penyesuaian tarif listrik ini dilakukan setelah pemerintah menimbang sejumlah indikator makro.
Rida mengatakan, pelanggan rumah tangga yang tarifnya disesuaikan adalah pelanggan golongan menengah atas.
"Yang kita sesuaikan rumah tangga menengah atas, nyaris mewah," ujarnya.
Ia mengatakan pemerintah sengaja menaikkan tarif listrik karena harga komoditas terus menanjak di tengah perang Rusia-Ukraina.
Sebagai gambaran, harga minyak mentah mendekati US$100 per barel atau jauh lebih tinggi dari asumsi di APBN 2022 yang hanya US$63 per barel.
"Harga ICP kan berkisar US$100 per barel, tapi asumsi di APBN US$63 per barel. Maka perlu ada penyesuaian," ujarnya.
Namun pemerintah tak mengerek tarif listrik untuk golongan bisnis dan industri.
Rida beralasan sektor industri dan bisnis belum pulih sepenuhnya.
Maka, jika tarif listrik dua sektor itu dinaikkan, pemerintah khawatir berdampak buruk bagi operasional perusahaan.
"Kami ambil kebijakan untuk tidak menaikkan (tarif listrik) di sektor bisnis dan industri," ucap Rida.
Ia mengakui mal sekarang memang sudah ramai. Namun, hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat hanya jalan-jalan atau sekadar berkumpul dengan teman, bukan untuk berbelanja.
"Jadi kami simpulkan sektor bisnis dan industri belum sepenuhnya pulih," terang Rida.
Sementara itu Direktur Utama PT PLN (Persero) mengatakan Darmawan Prasodjo mengatakan kenaikan tarif listrik ini hanya berlaku bagi 2,09 juta 'orang kaya' atau pelanggan dari golongan rumah tangga mampu.
Baca juga: Tarif Listrik bagi Pelanggan PLN 3.500 VA ke Atas Naik, Ini Rinciannya
Darmawan menjelaskan angka itu setara dengan 2,5 persen dari total pelanggan PLN yang mencapai 83,1 juta.
"Total pelanggan (rumah tangga) terdampak 2,5 persen dari total pelanggan," ungkap Darmawan.
Selain itu, pemerintah juga menaikkan tarif listrik untuk 373 ribu pelanggan golongan pemerintah.
Angka itu setara dengan 0,5 persen dari total pelanggan.
Darmawan mengatakan PLN sudah lama tak melakukan penyesuaian tarif listrik secara otomatis, yakni sejak 2017.
Padahal, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) terus berfluktuasi.
ICP sekarang sudah mendekati U$100 per barel. Harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan asumsi di APBN 2022 yang hanya US$63 per barel.
Akibatnya, kata Darmawan, kompensasi listrik dari pemerintah yang tak tepat sasaran mencapai Rp 4 triliun.
"Jadi selama dari 2017 sampai 2022 ini tidak ada automatic tariff adjustment. Untuk itu biaya produksi listrik tentu berfluktuasi dengan ada eksternal faktor salah satunya kenaikan ICP," ungkap Darmawan.
Pemerintah tak mengubah tarif listrik, yakni tetap US$1.444 per kWh sejak beberapa tahun terakhir.
Hal ini berlaku bagi rumah tangga dengan daya rendah 900 VA sampai 6.600 VA ke atas.
"Tarif listrik Rp 1.444 per kWh, biaya pokok naik karena faktor eksternal menjadi Rp 1.699 per kWh. Ini ada porsi Rp 255 per kWh yang disalurkan ke ekonomi keluarga mampu yang kemudian diputuskan pemerintah secara filosofis bantuan pemerintah yang kurang tepat sasaran," jelas Darmawan.
Terkait kemungkinan pelanggan meminta turun daya setelah tarif listrik naik, Darmawan mengaku tak mempermasalahkannya.
"Kalau ingin pindah daya monggo, hak asasi pelanggan kami," ungkap Darmawan.
Namun, ia mengingatkan pelanggan agar tak memaksa untuk turun daya jika rumahnya tak memungkinkan.
Sebab, hal itu berpotensi membuat listrik mati.
"Tapi tentu pindah daya jangan dipaksakan kemudian nanti jeglak jeglek," jelas Darmawan.(tribun network/sen/dod)