Ekonomi 60 Negara Terancam Ambruk, Indonesia Harus Ekstra Hati-hati Tentukan Kebijakan Fiskal
Pemerintah harus waspada dan tepat dalam melaksanakan setiap kebijakan, termasuk dalam pengelolaan APBN
Editor: Muhammad Zulfikar
"Tetapi ini yang harus kita ingat, subsidi kita ke sini itu bukan besar, besar sekali. Bisa dipakai untuk membangun ibu kota satu. Karena angkanya sudah Rp 502 T. Ini semua yang kita harus mengerti," tambahnya.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, bahkan subsidi itu bisa dipakai untuk bangun Ibu Kota Negara (IKN) lantaran sudah mencapai Rp 502 triliun. "Curhatan Jokowi seharusnya terkait subsidi dan kompensasi salah sasaran, yang selama ini tidak pernah ada solusinya, kecuali hanya pada tataran wacana saja," ujarnya.
Menurutnya untuk menekan mengelembungnya subsidi dan kompensasi BBM, ada beberapa upaya yang sebenarnya bisa dilakukan. Pertama, penetapan harga Pertamax dan Pertamax ke atas diserahkan saja kepada Pertamina untuk menetapkan harganya sesuai harga keekonomian.
Dengan demikian, negara tidak harus membayar kompensasi akibat adanya perbedaan harga ditetapkan dengan harga keekonomian. Kedua, tetapkan pembatasan untuk penggunaan Pertalite dan Solar dengan kriteria yang sederhana dan operasional di lapangan. Fahmy menyampaikan, tetapkan saja bahwa pengguna Pertalite dan Solar hanya untuk sepeda motor dan kendaran angkutan.
Ketiga, hapus BBM RON 88 Premium, dengan alasan yakni kendati penggunaan Premium sudah dibatasai hanya di luar Jamali, tapi impor dan subsidi contents Premium masih cukup besar, yang juga menambah beban APBN.
Baca juga: Ekonomi Jerman Menuju Jurang Resesi oleh Embargo Gas Rusia
"Ketimbang mencurhatkan besaran subsidi BBM yang sudah given, akan lebih produktif bagi Jokowi untuk mengupayakan subsidi yang lebih tepat sasaran sehingga dapat mengurangi beban APBN. Jika beban subsidi BBM dapat diturunkan, dana subsidi itu dapat digunakan untuk membiayai pembangunan IKN," pungkas Fahmy.
Lalu bagaimana dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini?
Kenaikan bunga The Fed beberapa waktu lalu memang berimbas kepada nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS dan aliran modal asing. Pada penutupan Kamis(22/6) sore rupiah melemah 50 poin atau 0,34 persen ke posisi Rp 14.863 per dolar AS.
Lalu data Bank Indonesia(BI) pertengahan Juni 2022 menunjukkan aliran modal asing sudah keluar dari pasar keuangan Indonesia mencapai Rp 7,34 triliun. Secara rinci, dana yang keluar dari pasar SBN sebesar Rp 6,75 triliun, sedangkan yang keluar melalui saham sebanyak Rp 590 miliar.
Namun dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi serta rasio utang, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, Indonesia masih dalam level aman. Penegasan ini diutarakan Sri Mulyani usai berbicara dengan menteri-menteri keuangan dunia yang menghadapi dilema yang sama.
Teranyar, dia berbicara dengan Wakil Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong. Tingkat inflasi di Singapura mencapai 3,3 persen saat April 2022. Di Indonesia, tingkat inflasi pada Mei sebesar 3,55 persen (yoy) tertinggi sejak Desember 2019 sebesar 3,61 persen (yoy) kala itu.
Tingkat inflasi di negara-negara tersebut jauh lebih kecil dibanding inflasi di AS yang mencapai 8,6 persen pada Mei 2022, maupun inflasi di Turki yang sudah tembus 73,5 persen (yoy) akibat krisis ekonomi yang sudah terjadi di negara tersebut.
Baca juga: Ekonomi 60 Negara di Dunia Akan Ambruk, Jokowi: 42 Dipastikan Sudah Menuju ke Sana
"Jika dibandingkan dengan banyak negara di dunia, ini masih dalam taraf yang relatif aman," ucap Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Dilihat dari utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), rasio utang Indonesia saat ini sebesar 38 persen dari PDB, mengecil dari 42 persen PDB saat awal-awal menghadapi pandemi Covid-19. Namun kata Sri Mulyani, rasio utang ini sudah membuat masyarakat baper atau bawa perasaan.