Bank Sentral di Banyak Negara Diprediksi Kembali Kerek Suku Bunga demi Atasi Tekanan Inflasi
Bank sentral di sejumlah negara di AS, Eropa dan Asia diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga untuk mengatasi tekanan inflasi di negaranya.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Bank sentral di sejumlah negara diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga untuk mengatasi tekanan inflasi di negaranya.
Langkah mengerek suku bunga antara lain akan ditempuh oleh Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed) yang akan melanjutkan kenaikan suku bunga demi mengendalikan permintaan serta menekan laju inflasi.
Menurut Washington Post, Minggu (10/7/2022) langkah tersebut diambil The Fed seiring dengan pertumbuhan lapangan kerja dan penurunan tingkat pengangguran di AS pada level terendah dalam 50 tahun terakhir.
Laporan Kementerian Ketenagakerjaaan Amerika Serikat menyatakan, terdapat tambahan hampir 400.000 lapangan kerja di Amerika pada Juni 2022. Kenaikan tersebut menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja di Amerika semakin ketat.
Data-data terbaru tersebut akan mendorong The Fed kembali mengerek suku bunga sebesar 75 basis poin pada bulan ini.
Sebab resesi diperkirakan akan terus meningkat yang membuat sektor rumah tangga dan bisnis semakin khawatir.
Bank sentral di sejumlah negara di Eropa dan Asia seperti Hungaria dan Pakistan diperkirakan juga akan menaikkan suku bunga demi menekan kenaikan harga.
Bahkan bank sentral Hungaria menaikkan hingga 200 basis poin dan Pakistan 125 basis poin.
Jerman sedang mempertimbangkan untuk mengesampingkan batas pinjaman yang ketat tahun depan jika Rusia menghentikan pengiriman gas alam.
Bahkan ada kesepakatan diam-diam antara anggota kabinet koalisi Kanselir Olaf Scholz jika Berlin tidak dapat mempertahankan rencana fiskal dalam keadaan darurat.
Presiden Rusia Vladimir Putin menutup sementara pipa Nord Stream 1 untuk pemeliharaan tahunan.
Hal ini sebagai alasan untuk menghentikan aliran gas ke Jerman untuk jangka waktu yang lebih lama.
Ekspektasi untuk inflasi, harga output dan kenaikan upah di Inggris telah meningkat berdasarkan survei Bank of England.
Kondisi ini semakin mendorong Bank of England menaikkan suku bunga yang lebih besar dalam beberapa bulan mendatang.
Di sisi lain, tekanan biaya hidup yang semakin intensif akan mengaburkan prospek ekonomi di Prancis, dan akan kembali memicu kerusuhan selama masa jabatan pertama Macron dengan apa yang disebut dengan gerakan rompi kuning.
Sementara di Jepang, tingkat konsumsi rumah tangga melemah pada Mei 2022 untuk pertama kalinya dalam tiga bulan sebagai tanda bahwa pemulihan ekonomi terbukti lebih lemah dari yang diperkirakan sebelumnya.
Ekonomi China juga mengalami tekanan turun pada kuartal kedua untuk pertama kalinya sejak 2020.
Hal ini menempatkan statistik resmi negara di bawah pengawasan baru karena analis bertaruh bahwa pemerintah tidak akan mengakui kemerosotan tersebut.
Kementerian Keuangan China sedang mempertimbangkan untuk mengizinkan pemerintah daerah menjual 1,5 triliun yuan (US$ 220 miliar) obligasi khusus pada paruh kedua tahun ini.
Tujuannya, untuk mempercepat pendanaan infrastruktur yang belum pernah terjadi sebelumnya yang bertujuan menopang ekonomi negara yang terkepung.
Inflasi ritel Thailand juga dipercepat pada bulan Juni ke level tertinggi baru dalam 14 tahun, sehingga mendorong bank sentral untuk menaikkan biaya pinjaman lebih cepat daripada sebelumnya.
Inflasi yang lebih cepat menambah kasus bagi ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara ini untuk bergabung dengan bank sentral di seluruh dunia dalam pengetatan pengaturan kebijakan demi mengendalikan kenaikan harga.
Laporan Reporter: Ferrika Sari | Sumber: Kontan