Resesi Disebut Mengancam Berbagai Negara, Puncak Inflasi Masih Akan Terjadi
Deutsche Bank seperti dikutip Market Watch menyebutkan, inflasi tinggi yang dialami oleh berbagai negara saat ini bukanlah puncaknya.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Pasar sekarang sepenuhnya memperhitungkan risiko resesi di Amerika Serikat (AS) sebelum akhir tahun.
Deutsche Bank seperti dikutip Market Watch menyebutkan, inflasi tinggi yang dialami oleh berbagai negara saat ini bukanlah puncaknya.
Kenaikan harga bakalan terus terjadi yang menyebabkan inflasi terus menggerogoti perekonomian dunia.
Kepala penelitian mata uang global bank, George Saravelos, mengatakan dalam sebuah catatan kepada klien pada hari Kamis bahwa sesuatu yang besar bergeser di pasar setelah laporan indeks harga konsumen (IHK) AS pada hari Rabu.
Baca juga: Ancaman Resesi di Depan Mata, Ekonom Ajak Masyarakat Perbanyak Tabungan
Dia menggunakan puncak kurva dana berjangka The Fed sebagai proksi untuk ekspektasi resesi untuk menunjukkan bahwa pandangan pasar tentang waktu dimulainya resesi AS berikutnya telah bergeser secara substansial sejak Februari.
Saat itu investor bersiap-siap untuk resesi yang akan tiba pada Desember 2024. Sampai sekarang, pedagang berjangka memperkirakan resesi akan dimulai pada Januari 2023.
Menurut Saravelos, risiko resesi telah menggantikan inflasi sebagai faktor pendorong pasar yang paling penting.
Russia Today Mengabarkan, Deutsche Bank juga mengeluarkan peringatan resesi untuk ekonomi terbesar Eropa, Jerman, yang diperkirakan menyusut sekitar 1 persen pada 2023.
Penurunan pasokan gas alam, penurunan di Amerika Serikat, dan hambatan lainnya akan menyebabkan Jerman berkontraksi pada paruh kedua tahun ini, analis bank mengatakan kepada Bloomberg, memperingatkan bahwa rekor inflasi belum mencapai puncaknya.
Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatkan soal kemungkinan terjadinya resesi di Indonesia.
Seperti diketahui resesi telah melanda Amerika Serikat (AS), Australia, Korea Selatan, Singapura, Filipina, Thailand, Hongkong, Jepang, Jerman, Kanada, Swiss, Inggris, dan beberapa negara di Eropa lainnya.
Berdasarkan Survei terbaru Bloomberg, menyebutkan bahwa Indonesia masuk ke dalam negara Asia yang berpotensi mengalami resesi ekonomi.
Baca juga: Resesi adalah Penurunan Ekonomi di Suatu Wilayah, Ini Cara Mengantisipasi Resesi
Dari daftar 15 negara Asia yang berpotensi mengalami resesi ekonomi, Indonesia berada di peringkat 14 dengan persentase 3 % .
Sri Mulyani mengatakan, dalam survey tersebut, Indonesia masuk diperingkat bawah karena indikator neraca pembayaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), ketahanan dan juga dari sisi korporasi maupun dari rumah tangga relatif dalam situasi lebih baik dari negara lain.
“Kita relatif dalam situasi yang tadi disebutkan risikonya 3 % dibandingkan negara lain yang potensi resesinya di atas 70 % . Namun ini tidak berarti kita terlena, kita tetap waspada,” tutur Sri Mulyani dalam konferensi pers di Sofitel Nusa Dua, Bali, Rabu (13/7).
Adapun, dalam survey tersebut Sri Lanka berada di posisi pertama dengan persentase 85 % , New Zealand 33 % , Korea Selatan 25 % , Jepang 25 % , China 20 % , dan Hong Kong 20 % . Kemudian Australia tercatat 20 % , Taiwan 20 % .
Baca juga: Amerika Serikat Sedang Masuki Resesi Ringan, Ini Tanda-tandanya
Lalu, Pakistan 20 % , Malaysia 13 % , Vietnam 10 % , Thailand 10 % , Philipina 8 % , Indonesia 3 dan India 0 % .
Meskipun memiliki risiko resesi yang kecil, Sri Mulyani mengatakan pihaknya akan terus waspada dan berhati-hati dalam membuat kebijakan, mengingat masih ada risiko ketidakpastian global.
Hal ini seiring risiko global terkait inflasi dan resesi, atau stagflasi akan berlangsung sampai tahun depan.
Selain itu, instrumen kebijakan antara fiskal dan moneter juga akan dikoordinasikan dengan baik dan penuh kehati-hatian.
Ia juga mengatakan, kebijakan di Otoritas Jasa keuangan (OJK) juga dilakukan untuk memonitor utamanya regulasi eksposure dari korporasi Indonesia.