Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Cadangan Devisa Tipis, Sri Lanka Batasi Impor Bahan Bakar Selama 12 Bulan

Sri Lanka membatasi impor bahan bakar selama 12 bulan ke depan akibat kekurangan devisa

Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Sanusi
zoom-in Cadangan Devisa Tipis, Sri Lanka Batasi Impor Bahan Bakar Selama 12 Bulan
AFP/ARUN SANKAR
Seorang demonstran berinteraksi dengan personel satuan tugas khusus (kanan) Polisi yang berjaga saat memblokir jalan saat demonstran mengambil bagian dalam pawai protes terhadap Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe. Sri Lanka membatasi impor bahan bakar selama 12 bulan ke depan akibat kekurangan devisa, di tengah upaya pemerintah baru negara itu menemukan jalan keluar dari krisis ekonomi. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nur Febriana Trinugraheni

TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO - Sri Lanka membatasi impor bahan bakar selama 12 bulan ke depan akibat kekurangan devisa, di tengah upaya pemerintah baru negara itu menemukan jalan keluar dari krisis ekonomi.

Sri Lanka telah menghadapi kekurangan kebutuhan pokok, termasuk bahan bakar, pangan dan obat-obatan selama berbulan-bulan, setelah cadangan devisanya mengering karena kesalahan tata kelola pemerintah dan dampak dari pandemi Covid-19.

Menteri Tenaga dan Energi Sri Lanka, Kanchana Wijesekera menuliskan dalam sebuah tweet mengenai alasan di balik pembatasan impor bahan bakar yang akan diterapkan minggu ini.

Baca juga: Sri Lanka Minta Bantuan China Untuk Meningkatkan Perdagangan, Investasi, dan Pariwisata

"Karena masalah Valas, impor Bahan Bakar harus dibatasi dalam 12 bulan ke depan," kata Kanchana Wijesekera, yang dikutip dari Reuters.

Pembatasan impor bahan bakar merupakan salah satu langkah pertama yang akan diambil Presiden baru Sri Lanka Ranil Wickremesinghe untuk meredam krisis ekonomi.

Pekan lalu, Wickremesinghe terpilih sebagai presiden Sri Lanka setelah menang dalam pemungutan suara parlemen. Sementara pendahulunya, Gotabaya Rajapaksa melarikan diri ke luar negeri dan mengundurkan diri pada awal bulan ini, di tengah meletusnya protes massal terhadap kesalahan kebijakan ekonominya. Para pengunjuk rasa telah menyerbu kediaman dan kantor resmi Rajapaksa.

Baca juga: Krisis Sri Lanka: RS Hampir Tak Bisa Beroperasi, Pasien Diabetes Dipulangkan hingga Harus Jalan Kaki

Sri Lanka, yang memiliki 22 juta penduduk, membuka kembali sekolah-sekolahnya pada Senin (25/7/2022) kemarin, setelah krisis bahan bakar yang parah dan kerusuhan politik yang membuat sekolah-sekolah di negara itu ditutup hampir sebulan.

Berita Rekomendasi

Namun berdasarkan surat edaran yang dikeluarkan hari Minggu (24/7/2022) lalu, pekerja di sektor publik diminta untuk terus bekerja dari rumah selama satu bulan ke depan.

Direktur pelaksana Lanka IOS, pengecer bahan bakar terbesar kedua di Sri Lanka, Manoj Gupta mengatakan perusahaannya akan mengimpor dua pengiriman bahan bakar masing-masing sekitar 30.000 ton pada Agustus mendatang.

"Kami bekerja sama dengan pemerintah untuk mengurangi rasa sakit dan prioritas kami adalah memasok ke industri," kata Gupta.

Sementara itu, Sri Lanka sedang dalam pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) mengenai paket bailout senilai 3 miliar dolar AS, dan mencari bantuan dari negara lain termasuk India dan China.

Inflasi Sri Lanka Diprediksi Capai 70 Persen dalam Dua Bulan ke Depan

Gubernur Bank Sentral Sri Lanka Nandalal Weerasinghe memperkirakan inflasi di negaranya akan mencapai 70 persen dalam waktu dua bulan ke depan.

Sementara menurut data Pemerintah Sri Lanka, Indeks Harga Konsumen Nasional naik 45,3 persen tahun ke tahun di bulan Mei, sedangkan di bulan April hanya berkisar 33,8 persen.

Dilansir dari CNBC, Jumat (22/7/2022) inflasi makanan di Sri Lanka juga melonjak 58 persen tahun ke tahun di bulan Mei dibandingkan dengan 45,1 persen di bulan April.

Baca juga: Kelompok Hak Asasi Manusia Kecam Tindakan Kekerasan Militer Sri Lanka Terhadap Pengunjuk Rasa  

“Sri Lanka telah memenuhi syarat untuk mendapatkan fasilitas dana yang diperpanjang oleh Dana Moneter Internasional sebesar 3 miliar dolar AS selama tiga tahun,” kata Weerasinghe.

Sebelumnya, Sri Lanka berada dalam pergolakan krisis ekonomi yang terburuk sejak kemerdekaan pada tahun 1948.

Akibat krisis ekonomi, Sri Lanka tidak dapat membayar utang luar negerinya, ditambah dengan krisis pasokan bahan bakar dan makanan semakin membuat kekacauan di negara itu.

Baca juga: Sri Lanka Melantik Dinesh Gunawardena sebagai Perdana Menteri Baru

“Begitu IMF mulai mengeluarkan uang di bawah apa yang akan menjadi program IMF ke-17 Sri Lanka, lembaga lain seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia akan menambah dana ini dengan tambahan 4 miliar dolar AS,” ungkap Weerasinghe.

Weerasinghe juga mengatakan bahwa krisis ekonomi saat ini adalah kesempatan bagi otoritas Sri Lanka untuk belajar dari kesalahan masa lalu dan tidak membalikkan reformasi begitu program IMF berakhir.

“Setelah program selesai, kami telah melihat pihak berwenang mundur dan membalikkan kebijakan yang baik,” katanya.

“Bagi saya, ini adalah kesempatan bagi pihak berwenang untuk belajar dan bergerak ke arah yang benar, bahkan di luar program IMF. Itulah kunci bagi kami untuk mengelola ekonomi ini secara berkelanjutan,” imbuhnya.

Mengakui bahwa penting untuk memiliki jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin, dia mengatakan bahwa akar penyebab krisis ekonomi saat ini terletak pada salah urus fiskal selama beberapa dekade.

“Pemerintah telah menjalankan defisit fiskal yang besar sekitar 8 hingga 9 persen dalam waktu yang lama. Sehingga kami memiliki utang publik yang sangat tinggi,” jelas Weerasinghe.

Sementara itu, Weerasinghe optimis bahwa reformasi akan dilakukan di bawah Wickremesinghe, yang terpilih sebagai presiden baru pada hari Rabu (20/7/2022).

Gubernur bank sentral Sri Lanka itu menggambarkan Wickremesinghe sebagai “pendukung kuat” reformasi ekonomi, setelah mengetahui Wickremesinghe terlibat dalam negosiasi dengan IMF.

“Saya berharap komitmen itu akan terus berlanjut, semakin cepat semakin baik, sehingga kita bisa mengurangi rasa sakit yang kita alami saat ini,” kata Weerasinghe.

Di sisi lain, bank sentral Sri Lanka memperkirakan bahwa masalah rendahnya cadangan devisa akan berlanjut selama beberapa bulan ke depan sampai kesepakatan tercapai dengan IMF.

Weerasinghe juga mengatakan, Sri Lanka sedang menegosiasikan jalur kredit dengan beberapa negara sahabat seperti India, Jepang, Cina dan Bangladesh.

Selain itu, Weerasinghe menepis laporan bahwa Sri Lanka telah jatuh ke dalam “jebakan utang China.”

Sebelumnya, China telah mendanai pembangunan infrastruktur besar-besaran di Sri Lanka dan memperpanjang pinjaman selama beberapa dekade terakhir.

Dalam contoh yang sering dikutip, Sri Lanka terpaksa menyewakan pelabuhan Hambantota-nya kepada sebuah perusahaan Cina selama 99 tahun setelah gagal membayar kembali pinjamannya.

“Saya tidak setuju dengan konsep terjebak oleh utang China,” kata Weerasinghe, seraya menambahkan bahwa China telah “berinvestasi dan membantu” Sri Lanka dalam jangka waktu yang lama.

Sri Lanka Bangkrut

Sri Lanka mengalami bangkrut setelah gagal mengatasi krisis ekonomi yang parah selama berbulan-bulan.

Sri Lanka memiliki tumpukan utang, gagal bayar, dan cadangan devisa yang menipis.

Sebagai informasi mengutip dari Channel News Asia, utang luar negeri Sri Lanka per akhir 2021 yaitu sebesar 50,72 miliar dolar AS. Jumlah ini sudah termasuk produk domestik bruto (PDB), utang 12 miliar dolar AS yang harus dibayarkan pada Agustus mendatang, serta pembayaran 21 miliar dolar pada akhir 2025.

Imbas dari pembengkakan utang ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa sekitar 80 persen masyarakat Sri Lanka di tahun ini berpotensi mengalami kekurangan pangan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas