Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Kenaikan Harga BBM Momentum Pacu Target Bauran Energi Nasional

Pemerintah sudah menetapkan target Bauran Energi tahun 2025 dengan rincian penggunaan EBT sebesar 25 persen, gas bumi 22 persen, minyak bumi 25 persen

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Kenaikan Harga BBM Momentum Pacu Target Bauran Energi Nasional
Tribunnews/JEPRIMA
Foto udara penggunaan solar panel yang berada di atas atap sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan di pabrik pintar Schneider Electric, Cikarang, Jawa Barat, Kamis (28/7/2022). Melalui penerapan teknologi digital dan otomasi, serta pemanfaatan solar panel, Schneider Electric Cikarang dapat meningkatkan visibilitas dan koordinasi antar operator, serta meningkatkan efisiensi energi hingga 15% dan telah mengurangi emisi karbon hingga 181 ton CO2 per tahun atau setara dengan menanam 900 pohon per tahun. Lebih dari dua puluh persen (> 20%) dari konsumsi energi bulanan di pabrik saat ini dihasilkan dari tenaga surya dan ditargetkan untuk mencapai 100 persen energi terbarukan pada tahun 2025. Tribunnews/Jeprima 

Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kenaikan harga minyak dunia yang berdampak pada kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dinilai sebagai momentum untuk mengejar target Bauran Energi Nasional 2025.

Salah satunya melalui optimasi penggunaan gas bumi sebagai tahap transisi menuju penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT).

Pemerintah sudah menetapkan target Bauran Energi tahun 2025 dengan rincian penggunaan EBT sebesar 25 persen, gas bumi 22 persen, minyak bumi 25 persen dan batubara 30 persen.

Kemudian pada tahun 2050, komposisi target Bauran Energi Nasional penggunaan EBT ditargetkan mencapai 31 persen, gas bumi 24 persen dan minyak bumi 20 persen.

Baca juga: Gunakan EBT, Istana Kepresidenan Dapat Renewable Energy Certificate dari PLN

Sementara ini, sampai tahun 2020 sebagaimana data Kementerian ESDM, porsi EBT tercatat baru mencapai 11,20 persen, gas bumi sebesar 19,16 persen, minyak bumi sebesar 31,60 persen dan batubara sebesar 38,04 persen.

Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto mengatakan penggunaan minyak bumi saat ini masih dominan sebagai sumber energi sekunder. Hal ini kerap menjadi masalah terutama ketika harga minyak dunia naik signifikan.

Berita Rekomendasi

Ketika harga minyak bumi naik tinggi, pada satu sisi akan berdampak pada kenaikan harga BBM sehingga harus menambah besaran subsidi yang memberatkan APBN.

"Sebab kebutuhan rata-rata BBM kita perhari itu 1,4 juta barel sedangkan produksi minyak kita hanya sekitar 600-700 ribu barel per hari. Sehingga ketergantungan terhadap impor BBM semakin tinggi,” kata Sugeng.

Baca juga: Sudah 10 Hari Kenaikan Harga BBM, Kini Semua Ongkos Naik dan Buruh Minta Upah Minimum 2023 Dinaikkan

Sugeng mengungkapkan, sejatinya DPR terus mendorong upaya pengurangan ketergantungan kepada minyak sebagai energi primer. Salah satunya dengan mengupayakan optimalisasi gas bumi.

"Pemanfaatan gas bumi, khususnya gas alam, harus didorong menjadi kebijakan utama dalam konteks energi. Dimana gas harus menjadi energi transisi untuk menuju optimalisasi EBT. Baik untuk kepentingan transportasi, industri, maupun rumah tangga,” ungkapnya.

Meskipun tidak renewable, menurutnya, gas bumi merupakan energi bersih. Selain itu, Indonesia memiliki produksi dan cadangan gas bumi yang besar melebihi minyak.

"Cadangan minyak kita sekarang ini mungkin tidak sampai 10 tahun jika tidak ditemukan sumber baru. Sedangkan gas bumi, yang sudah tereksploitasi saja bisa sampai 22 tahun ke depan ditambah lagi ada cadangan ditemukan baru yang kandungannya lebih besar,” terangnya.

Maka DPR meminta pemerintah memiliki sikap yang tegas terkait optimalisasi gas bumi. Momentum kenaikan harga minyak dan BBM saat ini perlu dioptimalkan untuk merealisasikannya.

”Saya menyesalkan sebetulnya dengan sikap pemerintah yang tidak firm dalam pemanfaatan gas bumi, gas alam. Memang kita harus duduk secara tegas ini, mau apa policy kita. Secara cadangan memang betul lah sudah tidak lagi Migas (minyak dan gas). Harus Gasmi (gas bumi). Karena cadangan gas lebih besar kan,” tegasnya.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berpendapat sama. Kenaikan harga BBM adalah momen mengejar target Bauran Energi Nasional melalui optimalisasi gas bumi.

”Misalnya PLN, sumber energinya berubah tidak lagi menggunakan BBM maka harus menggunakan energi lain. Misalnya menggunakan dari gas bumi untuk menghasilkan listrik. Kemudian yang memungkinkan kendaraan umum,” ucapnya.

Baca juga: Ekonom: Kenaikan Harga BBM Merupakan Bentuk Pemerintah Tak Perhatikan Kondisi Sosial Masyarakat 

Khusus terkait penggunaan BBG untuk transportasi umum, kata Ahmad, meskipun tidak semua daerah di Indonesia bisa menjalankannya namun tetap bisa berdampak positif dan secara bertahap bisa diupayakan lebih merata.

"Oleh karena itu Pemerintah harus tanggung pembangunan stasiun pengisian gas atau pemerintah kasih insentif supaya daerah lain bisa mengembangkan kendaraan gas,” sarannya.

Ahmad mengatakan optimalisasi gas bumi memang butuh kebijakan yang tegas dari pemerintah supaya aplikatif.

"Kebijakannya harus benar-benar bisa diimplementasikan. Terutama dimulai dari Kementerian dan Lembaga misalnya mulai dari kendaraan dinas, bisa menggunakan gas. Supaya konversinya cepat dan benar-benar dilakukan,” terusnya.

Insentif ke pelaku usaha juga diperlukan supaya konversi ke gas bumi semakin optimal. ”Misal dengan cara pengurangan pajak. Selain itu, pembiayaan harus didorong. Karena ini bagian dari penerapan Environmental, Social, and Governance (ESG)," ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas