OJK Perpanjang Restrukturisasi Kredit Sampai 2024, Hanya Segmen Tertentu hingga Respons Perbankan
OJK mengambil kebijakan mendukung segmen, sektor, industri dan daerah tertentu (targeted) yang memerlukan periode restrukturisasi kredit
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Humas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Darmansyah mengatakan, pihaknya memperpanjang program restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 yang akan berakhir pada Maret 2023.
Namun menurutnya, perpanjangan relaksasi dari regulator ini hanya bersifat segmented dan sektoral.
OJK mengambil kebijakan mendukung segmen, sektor, industri dan daerah tertentu (targeted) yang memerlukan periode restrukturisasi kredit/pembiayaan tambahan selama 1 tahun sampai 31 Maret 2024.
Baca juga: Restrukturisasi Kredit Terdampak Covid-19 Diperpanjang Satu Tahun hingga 31 Maret 2024
Meliputi, pertama segmen UMKM yang mencakup seluruh sektor. Kedua, sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum.
"Ketiga beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar, yaitu industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri alas kaki. Kebijakan ini dilakukan secara terintegrasi dan berlaku bagi perbankan dan perusahaan pembiayaan," ujarnya seperti dikutip dari Kontan.co.id, Senin (28/11/2022).
Lanjutnya, kebijakan restrukturisasi kredit/pembiayaan yang ada dan bersifat menyeluruh dalam rangka pandemi Covid-19 masih berlaku sampai Maret 2023.
Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dan pelaku usaha yang masih membutuhkan kebijakan tersebut, dapat menggunakan kebijakan dimaksud sampai dengan Maret 2023 dan akan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kredit/pembiayaan antara LJK dengan debitur.
Ia menuturkan OJK akan terus mencermati perkembangan perekonomian global dan dampaknya terhadap perekonomian nasional, termasuk fungsi intermediasi dan stabilitas sistem keuangan.
Baca juga: Tumbuh 11,7 Persen, Penyaluran Kredit Perbankan Rp 6.314,4 Triliun di Oktober 2022
Dalam kaitan itu, OJK tetap meminta agar LJK mempersiapkan buffer yang memadai untuk memitigasi risiko-risiko yang mungkin timbul.
OJK juga akan merespon secara proporsional perkembangan lebih lanjut dengan tetap mengedepankan stabilitas sistem keuangan serta menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional.
Adapun landasan kebijakan ini lantaran OJKmenilai saat ini ketidakpastian ekonomi global tetap tinggi, utamanya disebabkan normalisasi kebijakan ekonomi global oleh Bank Sentral AS (The Fed), ketidakpastian kondisi geopolitik, serta laju inflasi yang tinggi.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia ke depan tidak terhindarkan sebagaimana diprakirakan oleh berbagai lembaga internasional.
"Di sisi lain, pemulihan perekonomian nasional terus berlanjut seiring dengan lebih terkendalinya pandemi dan normalisasi kegiatan ekonomi masyarakat. Sebagian besar sektor dan industri Indonesia telah kembali tumbuh kuat. Sekalipun demikian, berdasarkan analisis mendalam dijumpai beberapa pengecualian akibat dampak berkepanjangan pandemi Covid-19 (scarring effect)," pungkasnya.
Baca juga: Investor di BEI Tunggu FOMC The Fed, Suku Bunga, Kredit dan Neraca Perdagangan Masih Pengaruhi IHSG
Diperpanjang Secara Targeted
Otoritas Jasa Keuangan menilai saat ini ketidakpastian ekonomi global tetap tinggi, utamanya disebabkan normalisasi kebijakan ekonomi global oleh Bank Sentral AS (the Fed), ketidakpastian kondisi geopolitik, serta laju inflasi yang tinggi.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia ke depan tidak terhindarkan sebagaimana diprakirakan oleh berbagai lembaga internasional.
Di sisi lain, pemulihan perekonomian nasional terus berlanjut seiring dengan lebih terkendalinya pandemi dan normalisasi kegiatan ekonomi masyarakat.
Sebagian besar sektor dan industri Indonesia telah kembali tumbuh kuat. Sekalipun demikian, berdasarkan analisis mendalam dijumpai beberapa pengecualian akibat dampak berkepanjangan pandemi Covid-19 (scarring effect).
Baca juga: Program Restrukturisasi Kredit Efektif Jaga Kelangsungan Usaha UMKM
Sehubungan dengan perkembangan tersebut dan menyikapi akan berakhirnya kebijakan restrukturisasi kredit/pembiayaan pada Maret 2023, OJK mengambil kebijakan mendukung segmen, sektor, industri dan daerah tertentu (targeted) yang memerlukan periode restrukturisasi kredit/pembiayaan tambahan selama 1 tahun sampai 31 Maret 2024, sebagai berikut:
- Segmen UMKM yang mencakup seluruh sektor;
- Sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum;
- Beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar, yaitu industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri alas kaki.
Kebijakan ini dilakukan secara terintegrasi dan berlaku bagi perbankan dan perusahaan pembiayaan.
Baca juga: BRI Salurkan Kredit dan Pembiayaan Mencapai Rp1.111,48 Triliun, Mayoritas ke UMKM
Sementara itu, kebijakan restrukturisasi kredit/pembiayaan yang ada dan bersifat menyeluruh dalam rangka pandemi Covid-19 masih berlaku sampai Maret 2023.
Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dan pelaku usaha yang masih membutuhkan kebijakan tersebut, dapat menggunakan kebijakan dimaksud sampai dengan Maret 2023 dan akan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kredit/pembiayaan antara LJK dengan debitur.
OJK akan terus mencermati perkembangan perekonomian global dan dampaknya terhadap perekonomian nasional, termasuk fungsi intermediasi dan stabilitas sistem keuangan.
Dalam kaitan itu, OJK tetap meminta agar LJK mempersiapkan buffer yang memadai untuk memitigasi risiko-risiko yang mungkin timbul.
OJK juga akan merespon secara proporsional perkembangan lebih lanjut dengan tetap mengedepankan stabilitas sistem keuangan serta menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional.
Respons Perbankan
PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat Tbk (BJB) mengapresiasi langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperpanjang restrukturisasi kredit secara targeted sampai 2024.
Baca juga: Suku Bunga Acuan Bank Indonesia Naik Lagi, Bagaimana Dampaknya Terhadap Bunga Kredit?
Yuddy Renaldi Direktur Utama Bank BJB mengatakan, kebijakan itu sesuai ekspektasi perseroan karena setiap sektor akan berbeda waktu pemulihannya.
"Ada sektor yang cepat pulih, ada juga yang terdampak hebat sehingga butuh waktu lebih lama untuk pulih," kata Yuddy seperti dikuti dari Kontan.co.id, Senin (18/11/2022).
Dia mengungkapkan, portofolio kredit restrukturisasi kami karena dampak pandemi covid-19 sebesar hanya sebesar 1,5 persen dari total kredit perseroan. Angka tersebut terus menurun secara gradual dari sebelumnya mencapai tertinggi sekitar 3% saat pandemi.
Yuddy mengatakan, sebagian besar kredit restrukturisasi tersebut sudah kembali normal.Sedangkan yang berpotensi turun jadi kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) karena kemampuan yang tidak kembali pulih hanya 1,9% dari total restrukturisasi covid.
Loan at risk (LAR) Bank BJB pun terus menurun dibandingkan pada saat puncak pandemi di 2020, dimana saat ini per September 2022 ada di level 6,4%, turun dari 7,7% pada periode yang sama tahun lalu. Sedangkan NPL tercatat 1,1%, turun dari 1,4% pada September 2021.
Baca juga: Program Restrukturisasi Kredit Efektif Jaga Kelangsungan Usaha UMKM
"Dengan adanya perpanjangan ini mudah-mudahan dapat memberikan waktu yg lebih panjang bagi sektor yg terdampak lebih dalam, sehingga tidak memberikan tekanan yang terlalu berat pada perbankan, sekaligus menjaga momentum pemulihan ekonomi yang saat ini sedang gencar dilakukan," pungkas Yuddy.
OJK telah memperpanjang kebijakan relaksasi restrukturisasi itu untuk berapa segmen, sektor, industri dan daerah tertentu (targeted) hingga Maret 2024. (Tribunnews.com/Kontan.co.id)