The 20th Economix International Seminar: Redefining the Pathways of Global Cooperation
20th Economix menggelar seminar internasional pada hari Selasa, 29 November 2022 yang diselenggarakan di Auditorium FEB UI.
Editor: Brand Creative Writer
Terkait kebijakan apa yang dapat diterapkan, Andrea Goldstein menjelaskan bahwa kebijakan moneter seharusnya tetap diperketat untuk memerangi inflasi. Di sisi fiskal, kebijakan yang diterapkan harus diupayakan untuk lebih tepat sasaran.
Selanjutnya, menjaga perekonomian tetap terbuka (dalam konteks multilateral) akan membantu untuk me-restore pertumbuhan ekonomi. Kesenjangan gender juga harus diperkecil dengan mendorong tenaga kerja wanita untuk berpartisipasi aktif dalam pasar tenaga kerja.
Terakhir, Andrea Goldstein menjelaskan bahwa negara-negara dapat berinvestasi pada keterampilan tenaga kerja untuk meminimalkan long-term cost yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Pembicara 2 - James P.Walsh
James P.Walsh selaku Perwakilan Residen Senior untuk Indonesia di International Monetary Fund (IMF), merupakan pembicara ke-2 pada sesi Moderated Session. Beliau membahas mengenai “Mencapai Ketahanan Makroekonomi Secara Global”.
Untuk pembukaan, beliau menyinggung mengenai acara G20 yang baru-baru ini diselenggarakan di Bali, Indonesia yang berlangsung pada tanggal 15-16 November 2022.
Beliau membahas beberapa poin kunci pada deklarasi pemimpin G20 Bali, seperti mendukung perdagangan agar fungsinya dapat berjalan dengan baik dengan cara menghilangkan batasan-batasan yang ada, tidak membiarkan proteksionisme dan mengalihkan dunia ke dalam blok-blok yang terpisah.
Pada acara G20 juga dilakukan penyampaian Kerangka Kerja Umum G20 untuk penanganan utang, pembahasan untuk mengoperasikan Resilience and Sustainability Trust (RST) untuk negara-negara yang paling membutuhkan, untuk mengatasi tantangan struktural jangka panjang dengan berinvestasi pada pertanian tahan iklim dan pembangunan rendah karbon.
Banyak pihak yang memamerkan iklim investasi dan keterbukaan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia terbuka untuk dunia dan harus mendorong lebih banyak investasi di masa mendatang.
Bapak James P.Walsh juga sempat membahas mengenai proyeksi pertumbuhan menurut World Economic Outlook (WEO) 2022. WEO memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 3,2 persen dan tahun depan akan makin melemah.
Beliau juga menyatakan bahwa tiga risiko penurunan telah terwujud, seperti permintaan global yang lebih lemah (AS, kawasan Eropa, dan China sudah melemah), kondisi keuangan yang lebih ketat, dan kenaikan inflasi yang semakin persisten. Invasi Rusia ke Ukraina juga dikatakan telah menambah tekanan yang akhirnya menyebabkan terjadinya inflasi.
Bahan makanan, transpor, dan sebagainya mengalami kenaikan harga. Berbagai resiko semakin bertambah, seperti risiko kesalahan kalibrasi kebijakan moneter, fiskal, atau keuangan di tengah tingginya ketidakpastian dan meningkatnya kerapuhan, memburuknya kondisi keuangan global yang akan menambah tekanan inflasi dan kerapuhan keuangan, terutama di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang.
James P. Walsh menjelaskan bahwa saat ini di Indonesia kebijakan moneter sedang di tengah kesulitan, sedangkan kebijakan fiskal tetap dalam kondisi yang bijaksana.
Respon kebijakan fiskal terhadap pandemi dapat terbilang efektif melalui program PEN dan anggaran belanja yang ditargetkan, kebijakan fiskal yang dilakukan telah mendukung rumah tangga rentan yang terkena dampak pandemi. Pandemi membuat sumber pendapatan banyak negara menyusut.
Beberapa mampu kembali ke tingkat pra-pandemi, tetapi beberapa masih tertinggal. Untuk menutup pemaparannya, beliau juga menjelaskan mengenai perubahan iklim yang menjadi salah satu ancaman untuk pertumbuhan jangka panjang dan kesejahteraan.
Beberapa kebijakan disarankan untuk mengatasi permasalahan ini seperti melalukan pengeluaran yang lebih tinggi untuk infrastruktur publik yang bersih sehingga membantu menciptakan yang pekerjaan yang baru di sektor rendah karbon dan mengimbangi kehilangan pekerjaan di sektor tinggi karbon.
Pembicara 3 - Ikumo Isono
Pembicara selanjutnya, Ikumo Isono, menyediakan presentasi yang berjudul “Impact of global economic decoupling on ASEAN: A geographical simulation analysis” yang menjelaskan tentang dampak dari fenomena economic decoupling terhadap kawasan ASEAN.
Lebih spesifik, beliau menjelaskan tentang rentannya ekonomi global mengalami fenomena decoupling karena adanya perang ekonomi AS dan Cina, sanksi terhadap Rusia, serta dampak dari fenomena tersebut pada ekonomi kawasan ASEAN.
Beliau berargumen bahwa walaupun ada upaya dari para pemangku kepentingan untuk mencegah fenomena decoupling, kemungkinannya tidak kecil sehingga topik tersebut harus didiskusikan. Isu ini pun tengah menjadi bahan pembicaraan pada organisasi think tank ERIA.
Risiko dari decoupling di ekonomi global pun semakin nyata sejak adanya perang ekonomi antara AS dan serta sanksi-sanksi ekonomi yang ditetapkan pada Rusia.
Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, menyatakan bahwa yang terjadi di Ukraina memiliki dampak besar terhadap hubungan AS-Tiongkok, dan jika hubungan AS-Tiongkok memburuk, dampaknya juga akan dirasakan oleh Asia-Pasifik dan dunia. Antony Blinken,
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, menyatakan kepada Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, bahwa ia kecewa terhadap dukungan Tiongkok terhadap AS dan bahwa hal tersebut telah merumitkan hubungan AS-Tiongkok.
Fenomena decoupling pun mulai terlihat di dunia bisnis. Seperti Honda Motor Co Ltd yang ingin membangun rantai pasok terpisah yang akan mengurangi ketergantungan atas Tiongkok dan Mazda yang sudah mulai menari cara mengurangi ketergantungan atas suku cadang yang dibuat di Tiongkok.
Decoupling akan memiliki dampak yang negatif terhadap ekonomi global. Studi oleh Kumagai et al. (2021) menunjukkan bahwa jika AS dan Tiongkok menerapkan tarif sebesar 25 persen pada semua barang, AS, Tiongkok, dan dunia akan mengalami penurunan PDB pada hampir semua sektor.
Selain itu, studi oleh Kumagai et al. (2022), menunjukkan bahwa jika seluruh dunia menerapkan sanksi terhadap Rusia, ekonomi global secara menyeluruh akan mengalami penurunan PDB.
Studi juga menunjukkan bahwa ketika terjadi decoupling, negara yang tidak memihak akan relatif mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu, Ikumo Isono menyatakan bahwa ASEAN harus dapat menerapkan ASEAN Centrality, upaya mencegah decoupling dengan mendemonstrasikan ketidakberpihakan. Terakhir, ia berargumen bahwa bisnis-bisnis harus mengoptimasi dan merestrukturisasi rantai pasok untuk mengantisipasi kemungkinan decoupling.
Pembicara Utama 3 (Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro)
Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro merupakan pembicara terakhir pada sesi keynote session. Tema utama dalam pemaparannya adalah mencapai ekonomi global yang tangguh.
Tema ini sangat relevan di situasi dunia saat ini dimana pandemi COVID-19 dan perang di Ukraina yang menyebabkan ekonomi global mengalami penurunan.
Beliau menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melambat dari 6,0 persen pada 2021 menjadi 3,2 persen pada tahun 2022 dan 2,7 persen pada tahun 2023.
Dengan terjadinya kenaikan inflasi akibat disrupsi pada global supply chain menyebabkan diberlakukannya pengetatan kebijakan moneter di sebagian besar wilayah, sehingga diekspektasikan terjadi kenaikan yang lebih curam pada suku bunga yang diberlakukan oleh bank sentral untuk melawan kenaikan harga.
Selain itu, perlambatan yang lebih tajam di China karena lockdown yang diperpanjang dan memburuknya krisis pasar properti dan efek limpahan dari perang di Ukraina semakin membuat ekonomi global terpuruk.
Faktor penting yang mendasari perlambatan pada paruh pertama tahun ini adalah penghapusan cepat akomodasi moneter karena banyak bank sentral berusaha untuk memoderasi inflasi yang tinggi secara terus-menerus.
Secara garis besar, tingkat suku bunga nominal sekarang berada di atas tingkat pra-pandemi di negara maju dan berkembang. Dengan inflasi yang tinggi, suku bunga riil umumnya belum dikembalikan ke tingkat pra-pandemi. Pengetatan kondisi keuangan di sebagian besar wilayah, dengan pengecualian penting dari China tercermin dalam yang apresiasi riil dolar AS.
Berbicara mengenai inflasi, inflasi memiliki dampak yang besar, terutama pada kelompok berpenghasilan rendah di negara berkembang. Di negara-negara ini, hampir setengah dari konsumsi rumah tangga digunakan untuk makanan, artinya inflasi bisa memiliki dampak yang sangat akut pada kesehatan manusia dan standar hidup.
Di Eropa, dampak signifikan terkait perang di Ukraina menyebabkan guncangan energi yang mendorong inflasi lebih tinggi dalam jangka pendek sedangkan di Asia, dengan dampak yang lebih moderat terjadi kenaikan pada harga pangan yang membuat untuk inflasi naik seperti di berbagai wilayah lain.
Negara-negara berkembang di Asia, pertumbuhan ekonominya diproyeksikan menurun dari 7,2 persen pada 2021 menjadi 4,4 persen pada 2022 yang sebelumnya meningkat menjadi 4,9 persen pada tahun 2023.
Proyeksi pertumbuhan pada tahun 2023 direvisi turun untuk mencerminkan kondisi eksternal yang kurang baik seperti, lebih lambatnya pertumbuhan mitra dagang utama seperti China, kawasan euro, dan AS, penurunan daya beli rumah tangga akibat harga makanan dan energi yang lebih tinggi dan pengetatan kebijakan moneter untuk membawa inflasi kembali ke sasaran.
Berbagai kebijakan yang dapat dilakukan menurut beliau adalah menerapkan kebijakan yang prioritasnya menangani inflasi, menormalkan neraca bank sentral, dan menaikkan tingkat suku bunga riil di atas tingkat netral mereka dengan cepat dan cukup lama untuk menjaga inflasi dan ekspektasi inflasi terkendali.
Selain itu, perlu kebijakan yang melindungi golongan rentan selama penyesuaian seperti melalui transfer tunai yang ditargetkan kepada mereka kesulitan dalam mengakomodasi kenaikan harga energi dan pangan yang lebih tinggi. Beliau juga menekankan pentingnya memperkuat kerjasama multilateral dan menghindari fragmentasi di tengah krisis ekonomi dan politik global
Henri Setiawan Wyatno
Bapak Henri Setiawan Wyatno menjadi pembicara keempat pada sesi moderated session di The 20th Economix International Seminar. Beliau memaparkan materi yang berjudul “Refining Global Trade and Connectivity – Enhancing Digitalization”. Tema ini mengungkit beberapa subtema yang membahas World Economic under Uncertainty, Digitalization: Global Trends, dan Telkom Indonesia - Answering The Challenge.
Dimulai dengan sub temanya yang pertama beliau memulai pembicaraan dengan memaparkan pembahasan tentang pandemi yang menuai resesi global yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Dia menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di kebanyakan negara menjadi lebih rendah menjadi sebelumnya karena efek dari pandemi. Kejadian ini memancing ekonomi global mempunyai permintaan yang lebih rendah, bahkan negara seperti US, benua Eropa dan China juga mengalami penurunan drastis.
Selain itu inflasi yang naik secara tajam dan kondisi finansial yang lebih ketat juga menyebabkan kegiatan ekonomi setelah pandemi menjadi lebih berisiko untuk bertransaksi.
Setelah ia membahas subtemanya yang pertama mengenai ekonomi dunia dalam ketidakpastian, ia melanjutkan pembahasannya dalam digitalisasi dan tren global. Beliau menyatakan bahwa pandemi mengakselerasi penggunaan konsumsi digital di seluruh dunia.
Salah satunya untuk media dipaparkan data bahwa di tahun 2017 pengunaan mencapai 2,31 miliar orang dan di tahun 2021 terdapat 4,2 disini menunjukan ada pertumbuhan 13%. Oleh karena itu diestimasikan sekitar ⅔ dari populasi global akan mempunyai akses internet di 2023 dengan pertumbuhan berkisar 1,4% dari 2018.
Dengan adanya kemelekan dalam digitalisasi ini, entitas yang mengerti akan lebih bisa menangani dan bertahan dalam krisis ekonomi ini. Walaupun digitalisasi juga penting tidak lupa disertakan pembangunan dari aspek-aspek lain secara merata.
Terakhir dia memamparkan tentang bagaimana Telkom Indonesia menjawab tantangan-tantangan ekonomi tersebut. Telkom Indonesia sudah membantu digitalisasi nasional dengan cara menyediakan infrastruktur digital yang sudah langsung terhubung ke koneksi global.
Telkom juga mempunyai rencana-rencana strategis dalam meningkatkan kualitas infrastruktur digital melalui konektivitas digital, platform, dan jasa. Beliau mengakhiri sesinya dengan mengulas kembali secara singkat poin-poin yang sudah ia bahas terutama tentang tren global dan memaparkan rekomendasi kebijakan seperti meningkatkan konektivitas universal, membuat pondasi ekonomi berkelanjutan, dan membuat individual menjadi siap secara digital.
Denis Hew
Pembicara terakhir, Denis Hew, menyampaikan prediksi kondisi ekonomi dan tantangan yang harus dihadapi oleh negara-negara di Asia Pasifik. Ia memaparkan perbandingan PDB APEC dengan ekonomi dunia secara keseluruhan, Inflasi yang dialami APEC, serta kondisi perdagangan yang terjadi.
Denis Hew menunjukkan data pertumbuhan perdagangan yang dialami oleh APEC pada bulan Januari-Juli 2022, yakni bernilai 16.4 untuk kegiatan ekspor dan 16.3 untuk kegiatan impor. Selain itu, perkembangan perdagangan di APEC baik impor maupun ekspor menunjukkan peningkatan hingga hampir dua kalinya untuk impor, dan hampir tiga kalinya untuk kegiatan ekspor.
Baginya, diperlukan kebijakan yang jelas, konsisten, dan terorganisir untuk memastikan bahwa APEC masih dalam kendali dibawah kondisi ekonomi dunia. Denis Hew juga telah menyimpulkan beberapa strategi yang akan diciptakan kedepannya, yaitu membuat communiques dengan G20, menciptakan sinergi dan memperkuat kolaborasi untuk mengatasi tantangan ekonomi yang terjadi, serta mewujudkan rencana pembangunan menuju aksi yang konkrit.
Tentang Economix FEB UI
Economix: Global Economic Challenges merupakan acara tahunan terbesar yang diselenggarakan oleh KANOPI FEB UI. Pada tahun ke-20 ini, Economix menjalankan serangkaian acara yang terdiri dari seminar internasional, kompetisi internasional, dan MUN (Model United Nations) yang dihadiri oleh mahasiswa, akademisi, serta masyarakat umum dari berbagai negara.
Acara Economix FEB UI bertujuan untuk memfasilitasi masyarakat dengan berbagai latar belakang untuk berdiskusi, berbagi, serta bertukar pendapat untuk menemukan solusi atas permasalahan global yang sedang terjadi pada saat ini