Singgung Subsidi Terlalu Besar hingga Pemerataan, Pengamat Respons Positif Wacana Kenaikan Tarif KRL
Pengamat kritik polemik wacana kenaikan tarif KRL Jabodetabek. Pengamat singgung perihal subsidi terlalu besar hingga pemerataan di Indonesia.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Endra Kurniawan
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana kenaikan tarif KRL Jabodetabek menuai polemik. Sejumlah masyarakat mengkritik rencana kenaikan tarif itu.
Namun di sisi lain, membengkaknya subsidi yang diberikan pemerintah terhadap transportasi Commuterline jadi alasan relevan penyesuaian tarif KRL.
Ketua Institus Studi Transportasi Darmaningtyas menilai wajar jika pemerintah berupaya menyesuaikan tarif KRL.
Sebab, kata dia, biaya perjalanan kereta listrik belum mengalami penyesuaian sejak 2016.
“Sementara inflasi terus bertambah dan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok juga telah naik berulang kali,” kata Darmaningtyas, Kamis (29/12/2022).
Baca juga: Jadwal KRL di Malam Tahun Baru: 31 Desember 2022 - 1 Januari 2023
Ia menilai besaran kenaikan tarif yang sebesar Rp2.000 untuk 25 km pertama tidak terlalu signifikan berdampak bagi kantong masyarakat.
Apalagi, sambungnya, jika dibandingkan dengan kenaikan tarif angkutan umum lainnya.
“Jadi andaikan anda pengguna KRL dan sekali perjalanan anda bayar Rp3.000 dengan kenaikan tersebut anda akan membayar menjadi Rp5.000. Dibandingkan dengan kenaikan angkutan online yang bisa naik kapan saja, kenaikan tarif KRL ini sebetulnya tidak signifikan,” ujarnya.
Di sisi lain, ia mengatakan bahwa penumpang KRL dengan pendapatan pas-pasan dan merasa keberatan dapat mengajukan keringanan agar diberikan tarif yang sesuai.
Sehingga pemberian subsidi pemerintah terhadap masyarakat dapat tepat sasaran.
Di sisi lain, Darmaningtyas justru menyoroti wacana kenaikan tarif hanya untuk kalangan yang mampu ini. Menurutnya, hal tersebut akan menimbulkan problematik tersendiri khususnya dalam menentukan indikator dan proses seleksi.
“Jadi gagasan membedakan tarif KRL berdasarkan kemampuan itu justru sulit diimplementasikan. Berbeda dengan tarif dibuat naik secara merata dan bagi mereka yang tidak mampu dapat mengajikan permohonan subsidi,” tuturnya.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menyebutkan wacana yang sudah dua kali dibunyikan pada tahun ini sebelumnya telah dibahas pula oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Dalam hasil studi tersebut, kata dia, masyarakat cenderung tidak mempermasalahkan kenaikan tarif KRL sebesar Rp1.000 sampai Rp2.000.
“Ketika tarif akan naik, orang yang miskin sesuai dengan daftar yang dikeluarkan Kemensos plus anak sekolah, mahasiswa, plus manula itu subsidinya tetap sehingga tarifnya tidak naik,” tuturnya.
Agus pun menyoroti susbsidi yang diberikan pemerintah untuk transportasi kereta api yang mencapai Rp2,5 triliun. Dari angka tersebut, KRL Jabodetabek mendapat subsidi sebesar Rp1,5 triliun.
Jumlah tersebut dinilai terlalu besar, bahkan jika dibandingkan dengan tarif KRL di Solo maupun Yogyakarta.
“Tidak adil dengan KRL yang di Yogya-Solo yang lebih mahal, sementara pendapatan berbeda dengan yang di Jabodetabek,” kata dia.
Baca juga: Wapres Maruf Amin Minta Rencana Penerapan Perbedaan Tarif KRL Orang Kaya Diuji Coba Dulu
Dia menambahkan bahwa kenaikan tarif KRL tidak berdampak signifikan bagi masyarakat. Sebab wacana tersebut hanya menyasar kalangan menengah ke atas.
Selain itu, tujuan penyesuaian tarif untuk pemanfaatan subsidi pun jadi poin positif.
Meski di sisi lain, ia menganggap wajar jika dalam wacana kenaikan tarif KRL ini masih terdapat masyarakat yang menolak
“Enggak ada dampaknya menurut saya. Kan yang subsidinya dikurangi yang kelas menengah bukan kelas atas. Jadi tidak masalah. Pasti ada yang menolak, itu ada tidak mungkin 100 persen setuju, itu ga masalah,” katanya.
Terpisah, Pengamat transportasi Unika Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno mengatakan wacana kenaikan tarif itu sudah ada sejak 2018 silam. Itu pun sudah didukung dengan survei yang dilakukan YLKI.
Djoko lantas menyoroti pemberian subsidi Rp1,5 triliun bagi KRL Jabodetabek. Ia menilai angka tersebut terlalu besar dan cenderung tidak memberikan rasa keadilan bagi warga non Jabkdetabek.
Pasalnya, lanjut dia, subsidi bagi transportasi di daerah terdepan, terpencil dan tertinggal hanya mendapat Rp125 miliar.
“Orang Jabodetabek paling banyak dapat subsidi. Sedangkan daerah lain tidak dapat. Kasihan. Padahal mereka menghasilkan batu bara, menghasilkan beras buat orang Jakarta. Jakarta mana ada batu bara mana ada beras, ga ada kan,” katanya.
“Artinya kita butuh pemerataan. Sebenarnya semua harus subsidi juga, cuman kan kemampuan negara harus diperhitungkan juga,” lanjut Djoko.