Skema Power Wheeling Sektor Kelistrikan Memberatkan Operator, Ini Alasannya
Pasalnya, skema tersebut malah meliberalisasi sektor kelistrikan yang justru akan merugikan negara dan memberatkan PLN sebagai operator.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan meminta pemerintah dan DPR untuk menghapuskan skema Power Wheeling dalam Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan (EBT).
Pasalnya, skema tersebut malah meliberalisasi sektor kelistrikan yang justru akan merugikan negara dan memberatkan PLN sebagai operator.
"Saya dengan tegas menolak skema power wheeling masuk RUU EBT. Sebab jika klausul tersebut diloloskan, ini sama dengan liberalisasi sektor kelistrikan yang bertentangan dengan UUD 1945,” kata Syarief dalam keterangan tertulisnya, Jumat (13/1/2023).
Baca juga: Kejaksaan Agung Temukan Kolusi dan Nepotisme dalam Pengadaan Tower Transmisi PLN
“Sebab listrik merupakan kebutuhan dasar rakyat yang harusnya dikuasai oleh negara," sambungnya.
Skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik. Dengan skema ini, produsen listrik swasta ( independent power producer/ IPP) bisa menjual listrik langsung ke masyarakat dengan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki dan dioperasikan PLN.
Tak hanya itu, dengan adanya skema tersebut, aset yang semestinya bisa dimaksimalkan oleh negara malah justru harus berbagi dengan swasta.
Dengan adanya skema tersebut, infrastruktur yang dibangun oleh PLN memakai investasi internal maupun Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) malah justru dinikmati oleh swasta.
"PLN juga akan kehilangan pasarnya karena swasta bisa langsung menjual listriknya ke masyarakat," ungkapnya.
Padahal, saat ini tantangan PLN saja adalah mengatasi oversupply.
Baca juga: Amankan Pasokan Listrik Malam Tahun Baru, PLN Mitigasi Potensi Gangguan Akibat Cuaca
Jika skema power wheeling diterapkan maka akan semakin memperlebar oversupply.
Tak hanya kehilangan pangsa pasar, dampak dari oversupply PLN harus membayar Take or Pay di mana selama ini TOP sendiri disubsidi oleh pemerintah.
"Meski berhasil diterapkan di negara lain, saya menilai skema ini belum tentu cocok diterapkan di Indonesia. Saya melihat lebih banyak mudaratnya jika kebijakan ini diterapkan di Indonesia," tegas Syarief.