Peneliti CIPS: Indonesia Bakal Terhindar Resesi Ekonomi Global
Sejumlah kebijakan makro yang diambil Pemerintah Indonesia diyakini mampu terhindar dari resesi ekonomi global yang diprediksi terjadi pada 2023.
Penulis: Nitis Hawaroh
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran menyampaikan, sejumlah kebijakan makro yang diambil Pemerintah Indonesia mampu terhindar dari resesi ekonomi global yang diprediksi terjadi pada 2023.
"Misalnya, untuk mengontrol inflasi, Indonesia tidak hanya menggunakan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan BI, tapi juga dibarengi dengan menjaga keterjangkauan harga pangan di pasar dan di tingkat petani," kata Hasran dalam keterangannya, Jum'at (20/1/2023).
Dikatakan Hasran, dampak dari kebijakan ini dapat dilihat dari tingkat inflasi Indonesia yang berada di kisaran 5 persen selama tahun 2022 dengan tingkat suku bunga acuan kisaran 5,50 persen.
Di sisi lain, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berada di kisaran 30,1 persen. Kata dia, jumlah itu jauh dari batas aman 60 persen yang ditetapkan dalam undang-undang.
"Cadangan devisa Indonesia juga berada dalam kategori aman, yaitu setara dengan pembiayaan 5,9 bulan impor atau 5,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," tutur dia.
Meski demikian, Hasan memaparkan, dia memprediksikan sektor perdagangan bakal terdampak resesi global. Hal ini menyasar pada menurunnya surplus neraca perdagangan.
"Surplus yang disebabkan oleh naiknya harga-harga komoditas seperti batu bara, nikel, dan CPO ini akan terhenti karena adanya penurunan permintaan dan harga untuk komoditas-komoditas tadi di pasar global," ucapnya.
Baca juga: Ekspor Jepang ke China Merosot Tajam, Kekhawatiran Resesi Global Makin Besar
Dia juga menyoroti, sejumlah industri yang wajib membayar biaya bunga pinjaman yang lebih tinggi. Kata dia, sebagai antisipasi, industri akan memilih mengurangi produksinya dan mengurangi jumlah tenaga kerja.
"Kondisi ini akan menyebabkan berkurangnya daya beli karena masyarakat akan memprioritaskan konsumsinya pada hal-hal yang dianggap penting. Hal ini akan berdampak pada pertumbuhan sektor sektor terkait," tegasnya.
Terakhir, pemerintah perlu mempertimbangkan alokasi bantuan sosial yang lebih menyasar masyarakat berpenghasilan rendah.
Baca juga: Kanselir Olaf Scholz: Jerman Tidak akan Jatuh ke Jurang Resesi Tahun Ini
Hal tersebut setara dengan laporan badan pusat statistik (BPS) menunjukkan data kemiskinan ketika inflasi menghantam perekonomian meningkat sebesar 0,03 persen di September 2022.
"Berkurangnya permintaan di Eropa dan Amerika sebagai dampak dari krisis biaya hidup ini akan mempengaruhi produksi dan margin perusahaan-perusahaan multinasional atau perusahaan manufaktur di Indonesia," ucap dia.
"Dalam masa ini, perusahaan akan bisa saja melakukan PHK. Sedangkan lapangan pekerjaan baru yang dibuka akan lebih sedikit," lanjutnya.