Cegah Kartel Ketenagalistrikan, MKLI Tolak Power Wheeling Masuk RUU EBT
Skema power wheeling dalam RUU EBT akan membuat produsen listrik swasta bisa menjual langsung pada konsumen atau Multy Buyer and Multy Seller (MBMS).
Penulis: Sanusi
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Konsumen Listrik Indonesia (MLKI) mengkhawatirkan penerapan power wheeling akan menciptakan kartel pada sektor kelistrikan nasional, sehingga dapat memainkan tarif listrik yang dijual ke konsumen.
Untuk itu, MLKI menolak masuknya skema power wheeling dalam Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT).
Skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik. Skema ini diklaim memudahkan transfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit swasta ke fasilitas operasi perusahaan dengan memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN.
Baca juga: Potensi EBT Indonesia 3.686 Gigawatt, Kementerian ESDM: Jadi Modal Utama Transisi Energi
Presiden MKLI Ahmad Daryoko mengatakan, skema power wheeling dalam RUU EBT akan membuat produsen listrik swasta bisa menjual langsung pada konsumen atau Multy Buyer and Multy Seller (MBMS), hal ini akan membuat produsen listrik swasta bebas menetapkan besaran tarif listrik yang dijual pelanggan.
"Nanti tetap menggunakan jaringan PLN, tapi statusnya hanya sewa, PLN hanya menjadi kuli panggulnya saja," kata Daryoko.
Menurut Daryoko, jika keterlibatan PLN disingkirkan dalam proses jual beli listrik maka kontrol negara akan kurang, sebab PLN menjadi kepanjangan tangan negara dalam sektor kelistrikan. Hal ini tentu akan menciptakan praktik Kartel.
"Akhirnya tarif listrik tidak terkendali secara total, okelah pemerintah bisa mengintervensi tapi dalam bentuk subsidi. Kalau MBMS terjadi kartel terjadi, membuat perhitungan biaya operasi jadi membengkak," tuturnya.
Dayoko mengungkapkan, jika power wheeling diterapkan, maka akan melanggar konstitusi, sebab dalam pasal 33 UUD 1945 menyebutkan segala hajat hidup masyarakat dikuasai oleh negara, dan listrik merupakan salah satu hajat hidup masyarakat.
"Karena listrik kepemilikan publik harus dikuasai oleh negara, sehingga PLN ini perusahaan yang diamanahi ketenagalistrikan untuk mensejahterakan rakyat, kalau dikuasai orang per orangan itu menyalahi konstitusi," ucapnya.
Daryoko pun mengkhawatirkan jika Indonesia menerapkan skema power wheeling akan seperti Filipina, harga listriknya meningkat pesat sehingga membuat masyarakat menderita.
"Negara lain yang sudah menerapkan power wheeling adalah Filipina. Setelah pemerintah Filipina menjual perusahaan listrik nasional ke swasta, terjadi MBMS tarif listriknya naik. Sehingga masyarakatnya minta perusahaan listrik dinasionalisasi lagi, tapi ya sudah tidak bisa," tutupnya.