Pakar Pajak: Aksi Boikot Bayar Pajak Tidak akan Berjalan Mulus
Basis perpajakan dalam negeri sudah bergeser dari Pajak Penghasilan (PPh) ke Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono memprediksi gerakan boikot bayar pajak tidak akan berjalan mulus. Prediksi itu berdasarkan beberapa alasan.
"Saya melihat imbauan atau hashtag untuk aksi boikot pajak itu tidak mungkin terlaksana secara mulus atau mendapatkan sambutan positif dari masyarakat luas," kata Prianto dalam pernyataannya kepada Tribun, Senin(6/3/2023).
Pertama, menurut Prianto, sikap masyarakat yang mendorong aksi tolak bayar pajak merupakan bentuk kekecewaan atas perilaku oknum pejabat pajak. Kekecewaan itu kemudian dilampiaskan di media sosial.
Baca juga: Isu Boikot Bayar Pajak, Ketua PBNU: Rakyat Harus Tetap Patuh Bayar Pajak
Kedua, basis perpajakan dalam negeri sudah bergeser dari Pajak Penghasilan (PPh) ke Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini menyebabkan pajak menempel di transaksi.
"Dengan kata lain, setiap masyarakat atau perusahaan yang bertransaksi sudah pasti memunculkan pembayaran PPN. Jadi, pada dasarnya mereka sudah bayar pajak, khususnya pajak tidak langsung berupa PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang ada di transaksi konsumsi dalam negeri," ujar Prianto.
Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia(UI) ini juga menjelaskan harga pembelian barang kebutuhan sehari-hari masyarakat di minimarket, departement store, atau e-commerce sudah pasti mencakup PPN. Konsumsi rokok yang mereka lakukan juga sudah pasti mencakup cukai rokok yang juga merupakan pajak tidak langsung.
Berikutnya, kata Prianto, pajak atas penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja sudah pasti telah dipotong, disetor, dan dilapor ke kas negara. Penghasilan perusahaan dari jasa juga sudah pasti dipotong PPh oleh pemberi penghasilan.
Perusahaan juga secara umum menyetorkan angsuran PPh bulanan (PPh 25). Pembayaran PPh akhir tahun hanya berkaitan PPh kurang bayar yang tersisa.
Terakhir, pria yang mengawali karier di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini mengatakan, undang-undang pajak sudah memberikan kewenangan luas ke pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak untuk menegakkan aturan pajak dari yang paling ringan hingga paling berat.
Bentuknya, menurut dia, berupa penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas data dan/atau Keterangan (SP2DK) atau surat teguran, pemeriksaan, hingga penyidikan pajak. Langkah tersebut dapat diambil DJP jika masyarakat tidak bersedia bayar dan lapor pajak.
Agar gerakan boikot bayar pajak tidak terus bergulir, ia menyarankan kepada pemerintah agar terus membangun paradigma service and trust, bukan cop and robber.
Artinya, perbaikan pelayanan, kemudahan administrasi, perlakuan adil, dan kepastian hukum harus terus ditingkatkan. Dengan demikian, trust atau kepercayaan dari wajib pajak akan meningkat sehingga tercipta voluntary compliance.
"Jika paradigma petugas pajak sebagai cop dan wajib pajak sebagai robber, efeknya akan tidak baik. Wajib pajak akan terus dicurigai mengemplang pajak sehingga perlu penegakan hukum dengan cara pemeriksaan atau bahkan penyidikan. Cara demikian akan akan memunculkan enforced compliance," ujarnya.