Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pemerintah Telah Susun Peta Jalan Hilirisasi Mineral Nikel hingga 2045

Pemerintah menegaskan hilirisasi mineral nikel sudah tertuang dalam roadmap yang menetapkan tahap-tahap yang dilalui hingga 2045

Editor: Sanusi
zoom-in Pemerintah Telah Susun Peta Jalan Hilirisasi Mineral Nikel hingga 2045
HO
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Prof Irwandy Arif, di acara workshop Peningkatan Kapasitas Media Sektor Minerba bertema "Creating Good News for a Better Minerals Sector", di Jakarta, Rabu (8/3/2023). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah menegaskan hilirisasi mineral nikel sudah tertuang dalam peta jalan (roadmap) yang menetapkan tahap-tahap yang dilalui hingga tahap Indonesia Hebat 2045.

Selain di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), roadmap smelter nikel juga sudah disusun Kementerian Perindustrian.

"Sejak saya masuk sebagai staf khusus sudah ada beberapa hal yang dibuat minerba. Kami susun grand strategy sektor minerba. Ini semuanya ada di minerba, jadi roadmap-nya sudah ada semua untuk komoditas penting," ujar Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Prof Irwandy Arif, di acara workshop Peningkatan Kapasitas Media Sektor Minerba bertema "Creating Good News for a Better Minerals Sector", di Jakarta, Rabu (8/3/2023).

Baca juga: Investasi China di Indonesia Terus Didorong, Mulai dari Hilirisasi Nikel hingga Bandara

Hingga saat ini tercatat ada sembilan fasilitas smelter nikel di bawah naungan Kementerian ESDM. Lima di antaranya sudah berproduksi, dan dua masih fase konstruksi. Dua lainnya masih dalam perencanaannya.

Menurut Irwandy, sejumlah kendala dalam pengembangan smelter nikel antara lain masalah pendanaan, pasokan energi, pembebasan lahan, perizinan, dan isu lainnya. Untuk pendanaan, pemerintah sudah mempertemukan pihak perusahaan dengan perbankan untuk melihat peluang potensi pengembangan smelter nikel.

Baca juga: Pengelolaan Industri Nikel Diselaraskan dengan Kelestarian Lingkungan

"Untuk pembebasan lahan harus dilakukan dengan pendekatan sosial yang baik. Dari sisi perizinan Pemerintah sudah berupaya untuk mempercepat. Sedangkan isu lain, kelemahan kita ada teknologi, kita bayar terlalu bayak untuk teknologi. Tenaga kerja asing, kedatangan alat itu bergantung pada kerja sama industri dengan pemerintah," kata Irwandy.

Direktur Utama PT Trimegah Bangun Persada Roy A Arfandy, holding dari Harita Nickel, mengakui adanya kendala pendanaan saat awal pengembangan smelter nikel. Dia berharap adanya dukungan pemerintah dalam mengatasi masalah pendanaan Ini.

BERITA REKOMENDASI

"Setengah mati cari pinjaman. Pabrik MHP (mixed hydroxied predipitate) kami investasinya besar, US$1,2 miliar. Untuk pendanaan memang perlu dibantu. Bank pemerintah banyak menahan untuk pendanaan karena masalah sumber listrik,” kata dia.

Produksi MHP ini menggunakan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL). MHP yaitu campuran padatan hidroksida dari nikel dan cobalt. MHP merupakan produk antara dari proses pengolahan dan pemurnian nikel kadar rendah sebelum diproses lebih lanjut menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat.

Saat ini Harita juga sedang mengembangkan fasilitas produksi lanjutan untuk menghasilkan nikel sulfat dan kobalt sulfat, yang merupakan material utama baterai kendaraan listrik.

Roy mengungkapkan di Halmahera, Maluku Utara kebutuhan listrik berasal dari pembangkit yang dibangun perusahaan, yaitu pembangkit batu bara. “Kami sudah coba menggunakan panel surya, tapi kapasitasnya tidak besar dan butuh lahan yang sangat luas, ratusan hektare. Kami juga butuh izin lebih lanjut untuk eksplorasi lanjutan," ujarnya.

Roy mengatakan saat ini pihaknya tengah mempersiapkan initial public offering (IPO) guna mendapatkan pendanaan proyek High Pressure Acid Leaching (HPAL) kedua.


"Sekarang sudah mulai banyak bank yang masuk ke industri nikel. Waktu mulai bangun, masih greenfield terpaksa pakai dana sendiri, sudah mulai setengah jadi baru bank masuk. Awalnya pasti susah. Sekarang sudah mulai banyak. Malah ada bank yang tanya apakah akan ada proyek HPAL kedua. Jadi untuk pendanaan, ada 3 opsi, bank, obligasi, dan IPO."

Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Haykel Hubeis, mengakui kendala pendanaan, khususnya pada bank-bank lokal. Di sisi lain, perusahaan asing justru ebih dominan dalam melihat potensi. "Entah dari China, India atau negara asia lainnya seperti Jepang, malah melihat potensi. Memang smelter perlu effort dan tanggung jawab besar. Perlu Satgas Hilirisasi," katanya

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas