Dampak Perang Rusia-Ukraina ke Tanah Air: Ancam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Melemahnya permintaan global dan naiknya suku bunga, serta inflasi yang meroket mengakibatkan pendapatan ekspor Indonesia menurun.
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia mencatat rekor pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen pada 2022, yang menjadi rekor tertinggi hampir satu dekade terakhir. Namun, invasi Rusia ke Ukraina telah berkontribusi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi di Tanah Air.
Melansir dari Business Insider, dengan melemahnya harga komoditas dan energi yang telah mengikis pendapatan ekspor, Indonesia menghadapi hambatan ekonomi karena kekhawatiran akan meningkatnya resesi global.
Beberapa bulan lalu, keadaan tidak terlalu terlihat buruk. Meskipun konsumen di Indonesia menghadapi harga yang lebih tinggi untuk beberapa komoditas, tetapi pada awalnya ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini menyaksikan nilai mata uangnya tumbuh lebih kuat.
Baca juga: Presiden Vladimir Putin: AS Ingin Pecah Rusia dan Jadi Pusat Dunia melalui Konflik Ukraina
Penguatan nilai rupiah terjadi akibat konflik yang melanda Rusia dan Ukraina menyebabkan kenaikan harga komoditas global. Reli tersebut, yang mengangkat pendapatan Indonesia dari ekspor besi, baja, batu bara, dan minyak kelapa sawit, ternyata hanya berumur pendek.
Melemahnya permintaan global, yang dikombinasikan dengan suku bunga yang lebih tinggi, serta inflasi yang meroket mengakibatkan pendapatan ekspor Indonesia menurun.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto memproyeksikan pada Januari lalu, ekspor akan tumbuh sebesar 12,8 persen di tahun ini, kurang dari setengah tingkat pertumbuhan 29,8 persen pada 2022, meskipun tingkat ekspor pada tahun lalu mungkin termasuk peningkatan pascapandemi Covid-19.
Tanda-tanda yang mengkhawatirkan muncul pada Desember, ketika ekspor minyak sawit melambat. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memperingatkan baru-baru ini, risiko penurunan utama bagi Indonesia termasuk "ketegangan terus-menerus di pasar energi, pupuk dan pangan."
Energi dan Pangan Jadi Sektor yang Paling Terpukul
“Sektor yang paling terpukul adalah energi, batu bara dan minyak mentah, dan juga komoditas, terutama impor jagung dan gandum, yang sekarang jauh lebih mahal,” kata analis politik senior di Pusat Studi Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Adriana Elisabeth.
"Konsumsi gandum relatif tinggi, yang merupakan tantangan nyata bagi ketahanan pangan negara," tambahnya.
Meski inflasi di Indonesia mencapai sekitar 5,5 persen, yang relatif rendah jika dibandingkan dengan banyak negara lainnya, namun angka itu menjadi level tertinggi dalam tujuh tahun terakhir.
Angka itu juga dua kali lipat dari tingkat inflasi yang diproyeksikan untuk dua negara tetangga Indonesia pada tahun ini, yaitu Malaysia dan Thailand. Bank Indonesia menaikkan suku bunga utamanya sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen pada Januari, yang menjadi kenaikan keenam berturut-turut.
Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk melindungi konsumen di Tanah Air dari kenaikan harga, namun pemerintah harus menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar 30 persen untuk melindungi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Rata-rata masyarakat Indonesia melaporkan harga bahan pokok yang naik dengan cepat antara lain mie, tepung, minyak goreng, lada, telur, cabai, dan teh.
Gangguan pasokan gandum telah menyebabkan toko yang menjual mie di Indonesia menaikkan harga lebih dari 10 persen, dengan harga mie instan per bungkusnya naik sebanyak 20 persen.
Meskipun Organisasi Pangan dan Pertanian PBB yakin tingkat ketahanan pangan di Tanah Air akan stabil, namun kenyataannya Indonesia telah terpengaruh oleh gangguan produksi gandum akibat invasi Rusia ke Ukraina, mengingat keduanya adalah salah satu produsen gandum terbesar di dunia.
"Makanan pokok utama orang Indonesia adalah beras, tetapi Indonesia juga mengimpor gandum dalam jumlah besar dari Ukraina untuk mie, yang dikonsumsi orang Indonesia dalam jumlah besar," kata profesor di Pusat Penelitian Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional, Dewi Fortuna Anwar.
"Indonesia juga mengimpor pupuk dari Rusia. Oleh karena itu, sektor pangan paling terpengaruh oleh invasi Rusia ke Ukraina, yang berdampak pada produsen dan konsumen pertanian dengan harga tinggi dan berkontribusi terhadap inflasi yang lebih tinggi," imbuh Dewi.
Sejauh ini, langkah Indonesia untuk memitigasi situasi ekonomi yang memburuk belum mendapat respons yang efektif dari Rusia. Dalam upaya untuk mendapatkan "jaminan keamanan pasokan makanan dan pupuk dari Ukraina dan Rusia", Presiden Joko Widodo melakukan perjalanan ke Moskow untuk bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Juni tahun lalu.
Sayangnya, harapan dari kunjungan Joko Widodo untuk memperoleh jaminan tersebut dari Moskow, bersama dengan pemulihan rantai pasokan energi, tidak terpenuhi. Putin telah menghalangi pemeriksaan yang merupakan bagian dari Black Sea Grain Initiative, sehingga menghalangi pengiriman pangan untuk menjangkau mereka yang membutuhkannya, menambah pengetatan anggaran bagi keluarga di Tanah Air.
Baca juga: Kementerian Pertahanan Ukraina Sebut Rudal Jelajah Rusia Hancur dalam Sebuah Ledakan di Krimea
Elisabeth mengatakan, Indonesia membayar harga untuk perang di Ukraina dalam hal "daya beli yang lebih rendah dan krisis fiskal karena perpajakan bergeser dari produsen ke konsumen, sementara pada saat yang sama investor cenderung menjauh dari Indonesia."
Walaupun Indonesia tidak terlalu terpukul dibandingkan negara-negara berkembang lainnya akibat perang di Ukraina, namun awan badai tetap ada dan perlambatan parah yang dialami oleh negara-negara maju akan menyebabkan lebih banyak gejolak bagi Indonesia.
Hanya ada satu jalan menuju perdamaian yang mendapat persetujuan internasional, dan itu adalah jalan yang didukung oleh Indonesia. Satu tahun setelah invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina yaitu pada 24 Februari 2023, Indonesia bersama 140 negara lainnya di Majelis Umum PBB mendukung penarikan pasukan Rusia dari Ukraina dengan segera, lengkap, dan tanpa syarat.
Bagi Ukraina, itu adalah satu-satunya kemungkinan untuk mengakhiri perang, dan satu-satunya cara untuk mengamankan perdamaian yang komprehensif, adil, dan abadi.